PENDAHULUAN
Permulaan
dari perpecahan umat Islam, boleh dikatakan sejak wafatnya Nabi. Tetapi
perpecahan itu menjadi reda, karena terpilihnya Abu Bakar menjadi khalifah.
Demikianlah berjalan
masa-masa kekhalifahan Abu Bakar, Umar, dalam kubu persatuan yang erat dan
persaudaraan yang mesra. Dalam masa ketiga khalifah itulah dipergunakan
kesempatan yang sebaik-baiknya dan mengembangkan Islam ke seluruh alam. Tetapi
setelah Islam meluas kemana-mana, tiba-tiba diakhir khalifah Utsman, terjadi
suatu cedera yang ditimbulkan oleh tindakan Utsman yang kurang disetujui oleh
pendapat umum.
Inilah asalnya fitnah yang membuka
kesempatan untuk orang-orang yang lapar kedudukan, menggulingkan pemerintahan
Utsman. Semenjak itulah, berpangkalnya perpecahan umat Islam sehingga menjadi
beberapa partai atau golongan.
Pada pembahasan kali ini kami akan
menjelaskan tentang mazhab Khawarij, Murjiah, Qadariyah, dan Jabariyah.
PEMBAHASAN:
1.
KHAWARIJ
1)
Latar Belakang Kemunculan
Secara
etimologis kata khawarij berasal dari bahasa Arab, yaitu kharaja yang bererti
keluar, muncul, timbul, atau memberontak[1]. Adapun yang dimaksud khawarij
dalam terminology ilmu kalam adalah suatu sekte/kelompok aliran pengikut Ali
bin Abi Thalib yang keluar
meninggalkan
barisan karena ketidak sepakatan terhadap keputusan Ali yang menerima arbitrase
(tahkim), dalam Perang Siffin pada tahun 37 H/ 648 M, dengan kelompok bughat
(pemberontak) Muawiyah bin Abi Sofyan[2]. Kelompok khawarij pada mulanya
memandang Ali dan pasukannya berada dipihak yang benar, karena Ali merupakan
khalifah sah yang telah dibaiat mayoritas umat Islam sementara muawiyah berada
dipihak yang salah karena memberontak khalifah yang sah. lagi pula berdasarkan
estinasai Khawarij, pihak Ali hampir memperoleh kemenangan pada peperangan itu,
tetapi karena Ali menerima tipu daya licik ajakan damai Muawiyah, kemenangan
yang hampir diraihnya itu raib.
Ali
sebenarnya sudah mencium kelicikan dibalik ajakan damai kelompok Muawiyah
sehingga ia bermaksud untuk menolak permintaan itu, terutama ahli qurra seperti
Al-as’ats bin Qais, Mas’ud bin Fudaki At-tamimi, dan Zaid bin Husain Ath-Thai,
dengan sangat terpaksa Ali memerintahkan Al-Asytar (komandan pasukannya) untuk
menghentikan peperangan.
Setelah menerima ajakan damai, Ali
bermaksud mengirimkan Abdullah bin Abbas sebagai delegasi juru damai
(hakam)nya,tetapi orang-orang Khawarij menolaknya. Mereka beralasan bahwa
Abdullah bin Abbas berasal dari kelompok Ali sendiri. Kemudian mereka
mengusulkan agar Ali mengirim Abu Musa Al-Asy’ari dengan harapan dapat
memutuskan perkara berdasarkan kitab Allah. Keputusan tahkim, yakni Ali
diturunkan dari jabatannya sebagai khalifah oleh utusannya, dan mengangkat
orang Khawarij. Mereka membelot dan mengatakan,”Mengapa kalian berhukum pada
manusia.Tidak ada hukum selain hukum yang ada di sisi Allah.” Imam Ali
menjawab, ” itu adalah ungkapan yang benar, tetapi mereka artikan keliru.” Pada
saat itu juga orang-orang khawarij keluar dari pasukan Ali dan langsung menuju
Hurura. Kadang-kadang mereka disebut dengan syurah dan Al-mariqoh.
Dengan
arahan Abdullah Al-Kiwa, mereka sampai di Harura. Di harura, kelomok Khawarij
ini melanjutkan perlawanan pada Muawiyah dan juga pada Ali. Mereka mengangkat
seorang pimpinan yang bernana Abdullah bin Shahab Ar-Rosyibi[3].
2)
Khawarij dan Doktrin-Doktrin Pokoknya
Di
antara doktrin-doktrin pokok Khawarij adalah berikut ini:
1.
Khalifah atau Imam harus
dipilih secara bebas oleh seluruh umat Islam,
2. Khalifah
tidak harus berasal dari keturunan Arab,
3.
Khalifah dipilih secara
permanent selama yang bersangkutan bersikap adil dan menjalankan syari’at
Islam. Ia harus dijatuhkan bahkan dibunuh kalau ia melakukan kezaliman[4].
4.
Khalifah sebelum Ali (Abu
Bakar, Umar dan Utsman) adalah sah, tetapi setelah tahun ketujuh dari masa
khalifahannya, Usman dianggap telah menyeleweng,
5.
Khalifah Ali adalah sah
tetapi stelah terjadi arbitrase (takhim), Ia dianggap telah menyeleweng,
6.
Muawiyah dan Amr bin Al-Ash
serta Abu Musa Al-Asyari juga telah dianggap menyeleweng dan telah menjadi
kafir,
7. Pasukan
perang jamal yang melawan Ali juga kafir[5].
8.
Seseorang yang berdosa
besar tidak lagi disebut muslim sehingga harus dibunuh. Yang sangat anarkis
lagi mereka menganggap bahwa seorang muslim dapat menjadi kafir apabila ia
tidak mau membunuh muslim lain yang telah dianggap kafir dengan resiko ia
menanggung beban harus dilenyapkan pula,
9.
Setiap Muslim harus berhijrah
dan bergabung dengan golongan mereka. Bila tidak mau bergabung, ia wajib
diperangi,
10. Seseorang
harus menghindar dari pimipinan yang menyeleweng,
11.
Adanya wa’ad dan wa’id
(orang yang baik harus masuk surga dan orang jahat masuk neraka),
13. Memalingkan
Ayat-ayat Al-Qur’an yang mutasyabihat (samar),
14. Manusia
bebas mengutuskan perbuatannya dari Tuhan,
3) Sekte-Sekte
Khawarij
1.
Al-Muhakkimah,
2.
Al-Azriqah,
3.
An-Nadjat,
4.
Al-Baihasiyah,
5.
Al-Ajaridah,
6.
As-Saalabiyah,
7. Al-Abadiyah,
8.
As-Sufriyah.
2.
AL-MURJI’AH
1)
Asal-Usul Kemunculan Murji’ah
Nama
Murji’ah diambil dari kata irja’ atau arja’a yang bermakna penundaan,
penangguhan, dan pengharapan. Kata arja’a mengandung pula arti memberi harapan,
yakni memberi harapan kepada pelaku dosa besar untuk memperoleh pengampunan dan
rahmat Allah. Selain itu, arja’a berarti pula meletakkan dibelakang atau
mengemudikan, yaitu orang yang mengemudikan amal dari iman. Oleh karena tiu
Murji’ah artinya orang yang menunda penjelasan kedudukan seseorang yang
bersengketa, yakni Ali dan Muawiyah serta pasukannya masing-masing, ke hari
kiamat kelak.
Ada
beberapa teori yang berkembang mengenai asal-usul kemunculan Murji’ah. Teori
pertama mengatakan bahwa gagasan irja dan arja’ dikembangkan oleh sebagian
sahabat dengan tujuan menjamin persatuan dan kesatuan umat Islam ketika terjadi
pertikaian politik dan juga bertujuan untuk menghindari sektarianisme.
Murji’ah, baik sebagai kelompok politik maupun teologis, diperkirakan lahir
bersamaan dengan kemunculan Syi’ah dan Khawarij. Kelompok ini merupakan
Teori lain menceritakan bahwa ketika
terjadi perseteruan antara Ali dan Muawiyah, dilakukan tahkim (arbitrase) atas
usulan Amr bin Ash, seorang kaki tangan Muawiyah. Kelompok Ali terpecah menjadi
dua kubu yang pro dan yang kontra. Kelompok kontra yang akhirnya menyatakan
keluar dari Ali, yakni kubuh Khawarij. Mereka memandang bahwa tahkim
bertentangan dengan Alquran dalam pengertian tidak bertahkim berdasarkan hokum Allah.
Oleh karena itu, mereka berpendapat bahwa melakukan tahkim itu dosa besar, dan
pelakunya dapat dihukumi kafir, sama seperti perbuatan dosa besar lain, seperti
zina, riba, membunuh tanpa alasan yang benar, durhaka kepada orang tua serta
memfitnah wanita baik-baik. Pendapat ini ditentang sekelompok sahabat yang
kemudian disebut Murji’ah, yang mengatakan bahwa pembuat dosa besar tetap
mukmin tidak kafir, sementara dosanya diserahkan kepada Allah, apakah Dia akan
mengampuni atau tidak[6].
2)
Doktrin-Doktrin Murji’ah
Berkaitan
dengan doktrin teologi Murji’ah, W. Montgomery Watt merincinya sebagai berikut:
1.
Penangguhan keputusan
terhadap Ali dan Muawiyah hingga Allah memutuskannya di akhirat kelak.
2.
Penangguhan Ali untuk
menduduki ranking keempat dalam peringkat Al-Khalifah Ar-Rasyidin.
3.
Pemberian harapan terhadap
orang Muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah.
4.
Doktrin-doktrin Murji’ah
menyerupai pengajaran (Mazhab) para skeptis dan empiris dari kalangan Helenis.
Sementara
itu Abu ‘a’la Al-Maududi menyebutkan dua doktrin pokok ajaran Murji’ah,
yaitu:[7]
1.
Iman adalah percaya kepada
Allah dan Rasul-Nya saja. Adapun amal dan perbuatan tidak merupakan suatu
keharusan bagi adanya
iman.
Berdasarkan hal ini, seseorang tetap dianggap mukmin walaupun meninggalkan
perbuatan yang difardukan dan melakukan dosa besar.
2.
Dasar keselamatan adalah
iman semata. Selama masih ada iman di hati, setiap maksiat tidak dapat
mendatangkan mudharat ataupun gangguan atas seseorang. Untuk mendapatkan
pengampunan, manusia cukup hanya menjauhkan diri dari syirik dan mati dam
keadaan akidah tauhid.
3)
Sekte-Sekte Murji’ah
Muhammad
Imarah menyebutkan dua belas sekte Murji’ah, yaitu:
1. Al-Jahmiyah,
pengikut Jahm bin Shufwan.
2. Ash-Shalihiyah,
pengikut Abu Musa Ash-Shalahi.
3. Al-Yunushiyah,
pengikut Yunus As-Samary.
4. As-samriah,
pengikut Abu Smar dan Yunus.
5. Asy-Syaubaniyah,
pengikut Abu Syauban.
6.
Al-Ghailaniyah, pengikut
Abu Marwan Al-Ghailan bin Marwan Ad-Dimasqy.
7. An-Najariyah,
pengikut Al-Husain bin Muhammad An-Najr.
8. Al-Hanafiyah,
pengikut Abu Haifah An-Nu’man.
9. Asy-Syabibiyah,
pengikut Muhammad bin Syabib.
10. Al-Mu’aziyah,
pengikut Mu’adz Ath-Thaumi.
11. Al-Murisiyah,
pengikut Basr Al-Murisy.
12. Al-Kalamiyah,
pengikut Muhammad bin Karam As-Sijistany.
3.
JABARIYAH
1)
Asal-Usul Pertumbuhan Jabariyah
Kata Jabariyah berasal dari kata jabara
yang berarti memaksa. Di dalam Al-Munjid, dijelaskan bahwa nama jabariyah
berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa dan mengharuskannya
melakukan sesuatu.
Dalam
bahasa Inggris, jabariyah disebut fatalisme, yaitu paham yang
Faham al-jabar pertama kali diperkenalkan
oleh Ja’d bin Dirham kemudian disebarkan oleh Jahm bin Shufwan dari Khurasan.
Dalam perkembangan selanjutnya faham al-jabar juga dikembangkan oleh tokoh
lainnya Al-Husain bin Muhammad An-Najjar dan Ja’d bin Dirrar. Mengenai
kemunculan faham al-jabar ini, para ahli sejarah pemikiran mengkajinya melalui
pendekatan geokultural bangsa Arab. Di antara ahli yang dimaksud adalah Ahmad
Amin. Ia menggambarkan bahwa kehidupan bangsa Arab yang dikungkung oleh gurun
pasir Sahara memberikan pengaruh besar ke dalam cara hidup mereka.
Ketergantungan mereka kepada alam Sahara yang ganas telah memunculkan sikap
penyerahan diri terhadap alam.
Lebih lanjut, Harun Nasution menjelaskan
bahwa dalam situasi demikian, masyarakat Arab tidak melihat jalan untuk
mengubah keadaan sekeliling mereka sesuai dengan keinginannya sendiri.
Mereka
merasa lemah dalam menghadapi kesukaran-kesukaran hidup. Akhirnya, mereka
banyak bergantung pada kehendak alam. Hal ini membawa mereka kepada sikap
fatalism.
2)
Para Pemuka Jabariyah dan Doktrin-Doktrinnya
Menurut
Asy-Syahratsani, jabariyah dapat dikelompokan menjadi dua bagian, kelompok
ekstrim dan moderat. Di antara tokoh-tokoh Jabariyah ekstrim ialah sebagai
berikut:
1.
Jahm bin Shufwan
Pendapat
Jahm yang berkaitan dengan persoalan teologi adalah sebagai berikut:
1. Manusia
tidak mampu untuk berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai
kehendak sendiri, dan tidak mempunyai pilihan. Pendapat Jahm tentang
keterpaksaan ini lebih terkenal dibanding dengan pendapatnya tentang surga dan
neraka, konsep iman, kalam Tuhan, meniadakan sifat Tuhan (nahyu as-sifat), dan
melihat Tuhan di
2. Surga
dan neraka tidak kekal. Tidak ada yang kekal selain Tuhan.
3.
Iman adalah ma’rifat atau
membenarkan dalam hati. Dalam hal ini, pendapatnya sama dengan konsep iman yang
diajukan kaum Murji’ah.
4.
Kalam Tuhan adalah makhluq.
Allah maha suci dari segala sifat dan keserupaandengan manusia seperti
berbicara, mendengar dan melihat. Begitupula Tuhan tidak dapat dilihat dengan
indera mata di akhirat kelak
Dengan demikian beberapa hal, pendapat
Jahm hampir sama dengan Murji’ah, Mu’tazilah, dan As-‘Ariyah. Itulah sebabnya
para pengkrtik dan sejarawan menyebutnya dengan Al-Mu’tazili, Al-Murji’i dan
Al-Asy’ari.
1. Ja’d
bin dirham
Doktrin
pokok Ja’d secara umum sama dengan pikiran Jahm. Al-Ghuraby Menjelaskannya
sebagai berikut :
1.
Al-Quran itu adalah
makhluk. Oleh karena itu, dia baru. Sesuatu yang baru itu tidak dapat
disifatkan kepada Allah.
2.
Allah tidak mempunyai sifat
yang serupa dengan makhluk, seperti berbicara, melihat, dan mendengar.
3. Manusia
dipaksa oleh Allah dalam segala-galanya.
Yang
termasuk tokoh Jabariyah Moderat adalah sebagai berikut: a) An-Najjar
Di
antara pendapat-pendapatnya adalah:
1. Tuhan
menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi manusia bagian atau peran dalam mewujudkan
perbuatan-perbuatan itu. Itulah yang disebut kasab dalam teori Al-Asy’ari.
Dengan demikian, manusia dalam pandangan An-Najar tidak lagi seperti wayang
yang gerakannya tergantung pada dalang, sebab tenaga yang diciptakan Tuhan
dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya.
2. Tuhan
tidak dapat dilihat di akhirat. Akan tetapi, An-Najjar
menyatakan
bahwa Tuhan dapat saja memindahkan potensi hati (ma’rifat) pada mata sehingga
manusia dapat melihat Tuhan. b) Adh-Ddirar
Pendapatnya tentang perbuatan manusia sama
dengan An-Najjar, yakni bahwa manusia tidak hanya merupakan wayang yang
digerakan dalang. Manusia mempunyai bagian dalam perwujudan perbuatannya dan
tidak semata-mata dipaksa dalam melakukan perbuatannya. Secara tegas, Dirrar
mengatakan bahwa satu perbuatan dapat ditimbulkan oleh dua pelaku secara
bersamaan, artinya perbuatan manusia tidak hanya berperan dalam mewujudkan
perbuatan-perbuatannya.
Mengenai
ru’yat Tuhan di akhirat, Dirrar mengatakan bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat
melalui indera keenam. Ia juga berpendapat bahwa hujjah yang dapat diterima
setelah Nabi adalah ijtihad. Hadis ahad tidak dapat dijadikan sumber dalam
menetapkan hukum.
4.
QADARIYAH
1)
Asal-Usul Kemunculan Qadariyah
Qadariyah berasal dari bahasa Arab, yaitu
kata qadara yang artinya kemampuan dan kekuatan. Adapun menurut pengertian
terminology, Qadariyah adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan
manusia tidak diintervensi oleh Tuhan.aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap
orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya, ia dapat berbuat sesuatu dan
meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Harun Nasition menegaskan bahwa
manusia mempunyai qudrah atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan
bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk kepada qadar
Tuhan.[9] Menurut Ahmad Amin, ada ahli teologi yang mengatakan bahwa qadariyah
pertama kali dimunculkan oleh Ma’bad Al-Jauhani dan Ghailan Ad-Dimasqy. Ma’bad
adalah seorang taba’I yang dapat dipercaya dan pernah berguru kepada Hasan
Al-Bashri.
Ibnu
Nabatah dalam kitabnya Syarh Al-Uyun, seperti dikutip Ahmad Amin, memberi
informasi lain bahwa yang pertama kali memunculkan faham Qadariyah adalah orang
Irak yang semula beragama Kristen kemudian masuk Islam dan balik lagi ke agama
Kristen. Dari orang inilah Ma’bad dan Ghailan mengambil faham ini.
2)
Doktrin-Doktrin Qadariyah
Harun Nasution menjelaskan pendapat
Ghailan tentang doktrin Qadariyah bahwa manusia berkuasa atas
perbuatan-perbuatanya. Manusia sendirilah yang melakukan baik atas kehendak dan
kekuasaannya sendiri dan manusia sendiri pula yang melakukan atau menjauhi
perbuatan-perbuatan jahat atas kemauan dan dayanya sendiri.[10]
Dari
penjelasan di atas dapat dipahami bahqa doktrin Qadariyah pada dasarnya
menyatakan bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendakya sendiri.
Manusia mempunyai kewenagan untuk melakuakan segala perbuatan atas kehendaknya
sendiri, baik berbuat baik maupun berbuat jahat. Oleh karena itu, ia berhak
mendapatkan pahala atas kebaikan yang ia lakukan dan juga behak pula memperoleh
hukuman atas kejahatan yang diperbuat.
Faham takdir dalam pandangan qadariyah
bukanlah dalam pengertian takdir yang umum dipakai oleh bangsa Arab ketika itu,
yaitu faham mengatakan bahwa nasib manusia telah ditentukan terlebih dahulu.
Dalam perbuatan-perbuatannya, manusia hanya bertindak menurut nasib yang telah
ditentukan sejak azali terhdap dirinya. Dalam faham Qadariyah, takdir itu
adalah ketentuan Allah yang diciptakan-Nya bagi alan semesta beserta seluruh
isinya, sejak azali, yaitu hukum yang dalam istilah Al-quran sunnatullah.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Maududi,
Abul A’la, Al-Khalifah wa Al-Mulk, terj. Muhammad Al-Baqir, Mizan, Bandung,
1994.
Madjid,
Nurcolis, Khazanah Intelektual Islam, Bulan Bintang, Cet. II, Jakarta, 1985.
Anwar,
Rosihan. Rozak, Abdul, Ilmu Kalam, Pustaka Setia, Bandung,
2003.
________________________________________
[1]. Drs.
Rosihan Anwar, Drs. Abdul Rozak, Ilmu kalam, (pustaka setia: bandung, 2003)
cet.2 hal.49
[2]. Harun
Nasution, Tiologi Islam: Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, UI Pres: 1985
cet. 1, hal. 11
[3]. Ibid,
hal. 50
[4]. Harun
Nasution Teologi Islam, hal 12
[5]. Nurkhalis
Majid, Khajanah Intelektual Islam, Bulan Bintang, cet.2, Jakarta: 1985, hal.12
[6] Rosihan
Anwar, Abdul Rozak, Ilmu Kalam, hlm. 56-57.
[7] Abul
A’la Al-Maududi, Al-Khalifah wa Al-Mulk, terj. Muhammad Albaqir, Mizan,
Bandung, 1994, hlm. 279-280.
[8] Harun
Nasution, Teologi Islam, hal. 31.
[9] Harun
Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, hlm.31.
[10] Harun
Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, hlm. 31.
5. SYI’AH
Golongan
ini sangat fanatik kepada, khalifah Ali bin Abi Thalib dan, keturunannya.
Mereka berkeyakinan tidak seorangpun yang berhak memegang, menduduki jabatan
kekhalifahan kecuali dari keturunan Ali. Jika orang yang mengakui khalifah
bukan dari keturunan Ali, berarti merampas
hak kekuasaan dan kekhalifahannya tidak
syah. Tetapi akhirnya golongan ini dimasuki pula oleh unsur-unsur yang
menyimpang dari pokok-pokok agama Islam.
6.
MU’TAZILAH
Golongan
Mu’tazilah ini salah satu pokok pikirannya adalah, bahwa orang Islam yang
mengerjakan dosa besar, atau meninggalkan kewajiban-kewajiban, yang sampai
matinya belum sempat bertobat, maka orang itu dihukum keluar dari Islam, tetapi
tidak menjadi kafir, hanya fasiq saja, namun menurutnya orang fasiq akan abadi
di neraka.
7.
Ahli Sunah wal Jama’ah
Kelompok
ini biasa menyebut dirinya Islama Aswaja. Pemahaman mereka ialah bahwa yang
dihukumkan dengan orang Islam, ialah orang yang memenuhi tiga syarat, yaitu :
menuturkan dua kalimat syahadat dengan lisan, dan diikuti dengan kepercayaan
hati dan buktikan dengan amal. Menurut Ahli Sunah wal Jama’ah, bahwa orang yang
mengerjakan dosa besar atau mengingkari kewajiban-kewajiban yang diperintahkan
Allah sampai mati tidak sempat tobat, dihukumkan sebagai mukmin “yang melakukan
maksiat. Hukumnya di akhirat kelak, bila tidak memperoleh ampunan dari Allah
akan masuk neraka untuk menjalani hukumannya. Sesudah menjalani azab dan
hukumnya itu, ada harapan mendapat kebebasan dan masuk surga.
*repost dari salah satu web
No comments:
Post a Comment