SUMBER-SUMBER PENAFSIRAN AL-QUR’AN
Oleh;
Aramdhan Kodrat Permana, M.Ag
A.
PENDAHULUAN
Al-Qur’an sebagai wahyu
Allah yang memiliki makna universal, bahkan jika dilihat dari berbagai
perspektif. Abu Abdullah Darraz, sebagaimana dikutip oleh M Quraish Shihab,
dalam al-Naba’ al-‘Azhim berujar bahwa al-Qur’an itu bagaikan intan yang
setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari
sudut-sudut yang lain.[1] Hal
ini disebabkan karena Allah tidak memberikan makna secara tegas pada al-Qur’an
secara detail. Akan tetapi dibalik itu Allah memberikan kode-kode yang akan
membimbing manusia untuk mampu menafsirkan sekaligus memahami al-Qur’an. Namun
tidak dapat dipungkiri bahwa penafsiran al-Qur’an selalu terkait dengan sang
penafsir, the commentator, yang tentu memiliki subyektifitas yang tidak
bisa lepas dari horizon pemikiran dan pengalamannya. Walaupun memang keragaman
penfsiran al-Qur’an tidak hanya bisa dilihat karena keragaman penafsir sendiri.
Karena disisi lain ada elemen-elemen yang berbeda yang digunakan oleh sang
penafsir untuk menafsirkan al-Qur’an yang akhirnya menghasilkan perbedaan interpretasi
terhadap al-Qur’an.
Elemen-elemen disebut
oleh al-Khalifah sebagai al-Dakhil. Dari kitab karangan
al-Khalifah ini, sumber atau elemen penafsiran al-Qur’an dibagi menjadi tiga
bagian, 1) al-Riwayah, 2) al-Ra’y, dan 3) al-Isyari. Sebagai sebuah pengantar
dan usaha untuk mendalami sumber-sumber tersebut maka akan dipaparkan dalam makalah
ini pembahasan komprehensif perihal sumber-sumber tersebut sampai pada aplikasi
metodologi yang ada pada setiap sumber. Hal ini kiranya menjadi penting untuk
melihat konsistensi metodologi sebuah penafsiran dengan aplikasinya.
B.
AL-RIWAYAH;
DASAR DAN AWAL PENAFSIRAN AL-QUR’AN
Pada masa Rasulullah
masih hidup, tafsir al-Qur’an tidak bisa lepas dari sosoknya. Karena ia sendiri
yang merupakan authoritative first speaker dalam memahami ayat serta
surat al-Qur’an. Catatan-catatan tafsir Rasulullah itu pun bisa dilihat dari
bab hadis dari setiap kitab hadis yang dinamai dengan bab tafsir al-Qur’an. Interpretasi Rasulullah pun tidak terbatas
pada aspek qauliyyah saja tetapi juga fi’liyyah dan taqririyyah.
[2]
Akan tetapi fakta sejarah
membuktikan bahwa Rasulullah tidak menafsirkan ayat itu secara keseluruhan.
Fakta hitoris ini kemudian membuat salah satu orientalis berujar, jika memang
Muhammad adalah orang otoritatif dalam menafsirkan al-Qur’an kenapa ia tidak
manafsirkan al-Qur’an secara komprehensif? Dengan jawaban yang singkat Muhammad
Yasin dalam karyanya Radud ‘Ulamâ’ al-Muslimîn ‘alâ Syubghat al-Mulhidîn wa
al-Mustasyriqîn;
Adapun
seandainya beliau menafsirkan setiap ayat al-Qur’an berarti beliau membatasinya
atas satu pemahaman dan akan seperti itu pemahamannya sampai hari kiamat. Akan
tetapi rahasia al-Qur’an tidak ada habisnya dan al-Qur’an cocok untuk setiap
masa. Seandainya hal-hal itu disebutkan secara keseluruhan pada masa Rasulullah
niscaya akal orang-orang pada masa itu akan kebingungan dan tidak ada satu pun
yang dapat memahaminya.[3]
Walaupun
pernyataan terakhir memperlihatkan sikapnya yang tradisionalistik dan lebih
apologis, tetapi setidaknya jawaban Muhammad Yasin menggambarkan dinamisasi
makna al-Qur’an. Sikap apologisnya terlihat saat ia secara a priori
mengatakan bahwa komunitas nuzul al-Qur’an tidak mampu memahami ayat
serta surat yang diturunkan kepada mereka. Terlepas dari perdebatan ini
faktanya memang Rasulullah tidak menafsirkan ayat secara keseluruhan. Faktor
yang mendukung fakta ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah bahwa Nabi
menafsirkan hanya beberapa ayat saja, menurut petunjuk-petunjuk yan diberi
Jibril. Dalam riwayat lain Rasulullah hanya menafsirkan al-Qur’an sesuai dengan
kebutuhan sahabat, yaitu ketika mereka tidak memahami secara jelas maksud dan
makna dari sebuah ayat. Seperti yang terjadi pada penafsirah surah al-An’am
ayat 82 tentang al-Dzulm yang bermakna, dalam konteks itu, adalah al-Syirk.[4]
Pasca wafatnya
problematika penafsiran semakin meruncing. Hal ini disebabkan tidaknya adanya
sandaran atau tokoh utama sebagai rujukan dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an.
Ignaz Goldziher diantara para sahabat ada yang memandang penafsiran al-Qur’an
merupakan aktivitas negatif, seperti Ibnu Wail, ‘Ubaidah bin Qais al-Kufi (W.
72 H) dan Sa’id bin Jubair (95 H).[5] Akan
tetapi orang-orang seperti ini hanyalah minoritas. Hal ini pun dipertegas
dengan data riwayat yang disampaikan oleh Quraish Shihab bahwa Ibn Malik
mengatakan Sa’id pernah berujar, bila ditanya mengenai tafsir suatu ayat,
beliau berkata, “Kami tidak berbicara mengenai al-Qur’an sedikit pun.” Demikian
juga halnya dengan Sali bin ‘Abdullah bin ‘Umar, al-Qasim bin Abi Hakar, Nafi’,
al-Asma’i, dan lain-lain[6].
Abdul Mustaqim memperjelas masalah ini dengan mengatakan bahwa tafsir yang
dimaksud adalah tafsir yang menggunakan ra’y (akal).[7]
Akan tetapi
perlahan pertentangan ini hilang, sebagaimana dinyatakan oleh Fazlur Rahman.[8]
Walaupun ketika perkembangannya ternyata banyak penafsiran yang dikhiasi dengan
mitologi serta serta pendapat bebas (yang tidak otoritatif). Hal ini bisa
dilihat dari aktivitas penafsiran Abdullah bin ‘Abbas yang dikenal dengan tarjuman
al-Qur’an, Abdullah bin Mas’ud, Ubay bin Ka’b dan Zayd bin Tsabit dengan
pola dan epistem yang hampir sama dengan nabi.[9]
Epistem yang digunakan itu tiada lain, yang kemudian, disebut dengan tafsir
bi al-Riwayah aw al-Ma’tsur.
1.
Definisi
Tafsir bi al-Matsur
Para ulama ulum al-Qur’an
biasa menyebut tafsir ini dengan tafsir bi al-Riwayah atau al-Tafsir al-Naqli.
Yang pertama sebagai oposit dari tafsir bi al-Ra’y dan yang kedua oposit
bagi al-Tafsir al-Fi’li. Untuk memudahkan pendefinisian dan pembatasan
tafsir ini penulis menggunakan tafsir bi al-Matsur. Secara etimologi kata
al-Matsur sendiri berasal dari lafadz atsara-ya’tsuru-atsran yang
bermakna naqala, memindahkan. Al-Atsar kemudian didefinisikan
sebagai al-khabar al-Murawiiy wa al-Sunnah al-Baqiyah dan al-Matsur diartikan
hadis yang diriwayatkan dan apa yang diwariskan oleh para ulama terdahulu. Kata
ini mencakup segala sesuatu yang diriwayatkan dan di-naql-kan.
Adapun secara terminologis
al-tafsir bi al-Matsur banyak para ulama yang sudah mengomentari.
Diantaranya adalah Muhammad Husein al-Dzahabi dalam kitabnya al-Tafsir wa
al-Mufassirun, “Segala sesuatu yang datang dari al-Qur’an untuk menjelaskan
dan memperinci ayat yang lainnya, yang diriwayatkan dari Rasululah saw, sahabat
serta para tabi’in”.[10]
Akan tetapi ternyata tidak semua ulama sepakat tentang masuknya al-Qur’an
sebagai salah satu sumber al-tafsir bi al-Matsur atau al-Tafsir al-Naqli.
Sholih ‘Abd al-Fattah al-Khalid mengkritik para ulama yang memasukkan
kategori al-Qur’an ke dalam kategori tafsir ini. Dalam pandangannya al-Qur’an
bukanlah atsar yang disandarkan para manusia sebagaimana hadis atau
khabar. Al-Qur’an adalah kalamullah. Ia tidak membutuhkan penelitian yang
mendetail untuk membuktikan otentisitasnya tidak sebagaimana pada pernyataan
sahabat tabi’in atau bahkan Rasulullah yang notabene adalah manusia.[11]
Inilah argumentasi yang menyebabkan disimpannya pembahasan tafsir al-Qur’an
bi al-Qur’an di luar sub tema tafsir bi al-Matsur di dalam kitabnya Ta’rif
al-Darisin bi Manahij al-Mufassirin.
Akan tetapi jika melihat
data perkembangan sejarah penafsiran al-Qur’an dimasukkannya al-Qur’an sebagai
salah satu sumber al-Tafsir bi al-Matsur bukan hanya karena argumentasi
linguistik tetapi juga argumentasi historis. Tradisi penafsiran sahabat dimulai
dengan penyandarannya kepada riwawat-riwayat yang berasal dari Rasulullah. Ini
dibuktikan dengan banyaknya hadis yang
merupakan penjelasan terhadap beberapa ayat yang musykil yang dahulu ditanyakan
sahabat kepada nabi seperti surah al-An’am [6]: 82. Baru kemudian para sahabat
ketika tidak menemukan dalam riwayat nabi, hadis, mereka menggunakan metode maudlu’i,
dengan adagium, al-Qur’an yufassiru ba’duhu ba’dhan atau yang
sekarang populer dengan istilah widah al-Qur’an (baca: kesatuan
al-Qur’an) yang berangkat dari konsep munasabah al-Qur’an. [12]
Oleh sebab itulah mengapa
para ulama keukeuh dengan menjadikan al-Qur’an sebagai salah satu sumber
daripada al-Tafsir bi al-Ma’tsur. Pandangan ini berbeda dengan pandanga
Sholih ‘Abd al-Fattah yang melihatnya dari aspek linguistik al-Qur’an yang
bukan merupakan kalam al-Basyar. Oleh Abdul Mustaqim era tafsir ini disebut
dengan tafsir era formatif dengan nalar quasi kritis. Berikut secara ringkas
Abdul Mustaqim membuat tabel, yang terdiri dari sumber, metode, validitas,
serta karakteristik dan tujuan penafsiran.[13]
Sumber Penafsiran
|
Metode Penafsiran
|
Validitas Penafsiran
|
Karakteristik dan Tujuan Penafsiran
|
Al-Qur’an
|
Bi al-Riwayah
|
Shahih tidaknya sanad dan matan sebuah riwayat
|
Minimnya budaya kritisisme, ijmali, praktis, implementatif
|
Al-Hadis (aqwal atau ijtihad Nabi)
|
Disajikan secara oral melalui sistem periwayatan dan disertai sedikit
analisis, sebatas kaidah-kaidah kebahasaan
|
Kesesuaian antara hasil penafsiran dengan kaidah-kaidah kebahasaan dan
riwayat hadis yang shahih
|
Tujuan penafsiran relatif sekedar memahami makna dan belum sampai ke
dataran magzha[14]
|
Qira’at, aqwal dan ijtihad
sahabat, tabi’in
|
|||
Cerita israiliyyat
|
Posisi teks sebagai subjek dan mufassir sebagai objek
|
||
Syair-syair Jahilliyah
|
2.
Sumber Penafsiran
Sebagaimana diutarakan
diatas, walaupun ada bentuk kritik dari Sholih ‘Abd al-Fattah al-Kholid perihal
dimasukkannya al-Qur’an sebagai sumber tafsir bi al-Ma’tsur tetapi penulis
masih berpegang pada terminologi yang diutarakan mayoritas ulama. Karena yang
harus dilihat dari definisi ini bukan hanya saja argumentasi linguistik tetapi
juga argumentasi historis. Yang dengannya al-Qu’ran dijadikan sumber penafsiran
oleh para sahabat selain riwayat dari Nabi.
a.
Al-Qur’an
“Al-Qur’an yufassir
ba’dluhu ba’dlan”, sebuah konsep yang oleh para ulama dikembangkan menjadi tafsir maudlu’i dan
menemui popularitasnya pada era modern dan kontemporer seimisal, Amin
al-Khulli, bin al-Syathi, Abu Hayy al-Famawi, Hassan Hanafi, dan Fazlu Rahman.
Jika ditilik lebih jauh sebenarnya konsep ini berangkat dari asumsi ilmu
munasabah al-Qur’an. Ada beberapa ayat yang menjadi legitimasi adanya
relasi internal antara surat atau ayat dalam al-Qur’an. Imam al-Qurthubi,
contohnya, menjadikan firman Allah pada surah al-Nisa [4]: 82 sebagai dalail
adanya hubungan dan kaitan antara ayat-ayat dalam al-Qur’an.[15]
Hal ini selaras dengan pernyataan Shalah al-Khalidi. Berbeda dengan kedua ulama
tersebut, al-Zamaksyari menjadikan surah Hud []: 1 sebagai landasan adanya
munasabah dalam al-Qur’an. Yang akhir akhir ini ahli bahasa menggunakan
internalisasi dalam al-Qur’an. Jika menggunakan model ilmu ini dalam kerangka
yang dipaparkan oleh Rom Harre, kategori ini masuk dalam homeomorph. Yaitu
ketika al-Qur’an sebagai subyek dalam konteks ini menjadi sumber.[16]
Munasabah al-Qur’an ini oleh para ulama, semisal Imam al-Khattabi, al-Jurjani
serta al-Baqillani menjadi salah satu dari keistimewaan al-Qur’an. Yang dalam
bahasa Muhammad Syahrur disebut sebagai I’jaz ilmiyyah.
Namunyang perlu
digarisbawahi adalah bahwa tafsir dengan menggunakan al-Qur’an sebagai rujukan,
homemorph, tidak hanya dilakukan oleh sahabat. Secara embrio Rasulullah
melakukan hal ini ketika ditanya penafsiran susrah al-An’am [6]: 82 dengan
menggunakan surah Luqman []: 13. Hal ini sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim
dari Abdullah ibnu Mas’ud. [17]
Akan tetapi tafsir
al-Qur’an bi al-Qur’an bukan hanya berorientasikan syarh tetapi juga
ada kaidah-kaidah yang dikembangkan oleh para ulama ulum al-Qur’an dan ushul
fiqh. Muthlaq-Muqayyad, naskh-mansukh, mujmal-mubayyan. Tafsir metode
ini oleh Ibn Taimiyyah dijadikan sebagai sebaik-baiknya penafsiran. Abdullah
Saeed memaparkan pernyataan Ibn Taimiyyah,
The best metod
in [tafsir] is that the Qur’an be interpretated by the Qur’an. Where the Qur’an sums up [a
point], the same point is elaborated in another place. What is breafely
mentioned in one one place is explained in detail in another place.[18]
b.
Hadis Rasulullah saw
Dalam konteks
dijadikannya hadis sebagai sumber rujukan kedua setelah al-Qur’an dalam
penafsiran al-Qur’an secara normatif bereangkat dari dalil normatif, surah
al-Nahl [16]: 44 dan al-Hasyr []: 7[19].
Inilah sebab mengapa para ulama kemudian merumuskan dan menjadikan fungsi utama
dari hadis adalah tabyin li al-Kitab. Selain itu sunnah nabi merupakan
eksponen faktual daripada nabi yang secara langsung berdialektika dengan
al-Qur’an. [20]Akan
tetapi perlu diperinci bagian mana saja yang menjadi tabyin li al-Kitab, apakah
keseluruhan daripada hadis atau hanya sebagian saja? Setidaknya ada dua sumber,
yaitu hadis-hadis yang merupakan komentari Rasulullah langsung, baik secara
praksis maupun bayani, yang terekam dalam bab-bab tafsir kitab hadis,
sebagaimana dinyatakan oleh Amin al-Khuli dalam kitabnya al-Tafsir: Ma’alim
Hayatihi wa manhajuh al-Yaum.[21]
Sehingga tidak mengherankan jika pada awal periode Islam, karya tafsir
al-Qur’an masih bercampur dengan karya hadis dan sirah (bigorafi nabi).[22]
Dan kedua hadis yang secara tersirat, yang menurut para sahabat waktu itu
sesuai dengan pemahaman nabi.
Akan tetapi menggunkan
hadis untuk menjelaskan konteks al-Qur’an bukanlah upaya sederhana. Salah satu
tantangan terbesarnya adalah abgaimana mengukur nilai epistemologis semua
hadis yang dianggap menyajikan konteks
yang dikehendaki. Meskipun mayoritas ulama setuju dengan al-Syafi’i bahwa
sunnah nabi penting untuk memahami al-Qur’an tetapi mereka berbeda pendapat
ketika menilai aberagam hadis yang dianggap shahih. Ingrid Mattson dalam hal
ini melanjutkan;[23]
Beberapa hadis
diriwayatkan oleh banyak orang dari generasi muslim paling awal; hadis mutawatir
semacam ini tentu saja bisa dipercaya, tetapi jumlahnya sangat sedikit.
Beberapa hadis lain diriwayatkan hanya oleh satu orang dalam setiap generasi
yang disebut hadis ahad. Hadis ahad biasanya diterima sebagai
dalil oleh ulama seperti al-Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal, jika semua perawinya
dinilai jujur dan terpecaya. Namun ulama lain bersikap skeptik terhapada
penggunaan riwayat secaman ini untuk menafsirkan al-Qur’an. Bagaimana bisa ayat
al-Qur’an yang berasal dari Tuhan dibatasi dan dijelaskan oleh hadis yang
diriwayatkan seorang perawi tunggal yang mungkin keliru? Orang yang menerima
hadis semacam itu harus menakar keabsahannya dengan prinsip-prinsip hukum lain
untuk memastikan bahwa ia tidak berbenturan dengan semua bukti yang relevan.
c.
Riwayat para sahabat
Setelah nabi orang yang
paling mengetahui konteks diturunkannya ayat serta kondisi yang menuntut
diturunkannya ayat-ayat itu, yang sebagaian membicarakan diri nabi, seperti
firman Allah ta’ala, “Apabila datang pertolongan Allah dan kemenangan”, menunjukkan
kesedihan Nabi saw (karena waktu wafatnya sudah mendekati. [24]
Akan tetapi yang harus digarisbawahi adalah bahwa para sahabat mempunyai
kemampuan, al-Thaqah, yang berbeda dalam menafsirkan al-Qur’an. Di
antara mereka, menurut Hasbi al-Shiddiqy, ada yang ilmu tentang
kesusasteraannya mendalam, ada yang terus menerus menyertai rasul dan dapat menyaksikan asbab
al-Nuzul dan ada yang tidak. Ada di antara mereka pula yang mengetahui
secara sempurna adat istiadat bangsa
Arab dalam pemakaian bahasa, ada yang tidak. Ada yang mengetahui dengan baik
tindak tanduk bangsa Yahudi, ada yant tidak.[25]
Dalam hal ini ‘Abdullah bin Mas’ud mengungkpkan, sebagai bentuk tahadduts
bin al-Ni’mah dalam memahami al-Qur’an, “Bertanyalah padaku”, “Tiada Tuhan
selain Allah tidaklah diturunkan suatu ayat dari al-Qur’an kecuali saya
mengetahui untuk apa diturnkan, dimana diturunkan”.[26]
Disisi lain pemahaman
para sahabat terhadap al-Qur’an pun begitu mendalam, sehingga mereka tidak akan
beralih pada suatu ayat sehingga mereka mampu memahami dan mengamalkannya.
Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abdurrahman al-Salamiyyi bahwa orang-orang
seperti Utsman bin ‘Affan dan Abdullah bin Mas’ud, yang dibacakan kepada mereka
ayat al-Qur’an, apabila mereka mempelajari sepuluh ayat dari nabi saw mereka
tidak akan berpindah pada ayat yang lainnya sampai mereka memahami serta
mengamalkannya.[27]
Sebagaimana terhadap hadis, riwayat dari para sahabat pun harus diperlakukan
dengan ketat dalam arti validasi apakah riwayat itu sampai pada sahabat atau
tidak harus dilakukan.
d.
Pernyataan para
al-Tabi’in
Tabi’in secara historis
adalah murid para shahabah. Merekalah yang secara bertahap merupakan orang yang
paling otoritatif dalam menafsirkan al-Qur’an setelah Rasulullah dan para
sahabat. Para tabi’in yang populer tiada lain adalah murid-murid Ibn ‘Abbas,
Abdullah bin Mas’ud, dan Ubay bin Ka’b. Diantaranya adalah Mujahid serta Sa’id
bin Jubair dan Qatadah. Mujahid mengakui bahwa dia bertanya kepada Ibn ‘Abbas
perihal tafsir dari surah al-Fatihah sampai akhir surat. Pengakuan Mujahid ini
ditekankan oleh riwayat dari Ibn Abi Malikah dan Sufyan al-Tsauri.
Sampai-sampai orang terakhir ini mengatakan bahwa apabila seseorang mencari
penafsiran yang otoritatif maka cukuplah baginya tafsir dari Mujahid.[28]
Ali al-Khudri dalam
kitabnya Tafsir al-Tabi’in mencatat bahwa setidaknya ada tiga aliran
penafsiran yang menonjol di era tabi’in. Pertama, aliran Makkah, yang
dipelopori oleh Sa’id bin Jubair, Ikrimah serta Mujahid ibn Jabar. Mereka
berguru langsung kepada Ibn Abbas. Kedua, aliran Madinah yang dipelopori
oleh Muhammad bin Ka’b, Zayd bin Aslam al-Qurazhi serta Abu ‘Aliyah. Mereka
berguru pada sahabat Ubay bin Ka’b. Ketiga, aliran Irak, diantaranya adalah
‘Alqamah ibn Qiyas, Amir al-Sya’bi Hasan al-Bashri dan Qatadah ibn DI’amah
al-Sadusi. Mereka mendaku kepada sahabat Abdullah bin Mas’ud.[29]
Adapun pola
penafsiranyang dipakai relatif sama. Hal yang membedakan antara tradisi
penafsiran era sahabat dengan era tabi’in rarangkali pada persoalan sekteranisme.
Pada era sahabat belum muncul sekteranisme aliran-aliran tafsir secara tajam,
sementara di era tabi’in sudah mulai muncul aliran-aliran tafsir berdasarkan
kawasa. Itu disebabkan karena para mufassir dari kalangan tabi’in yang dahulu
berguru kepada para sahabat kemudian menyebar ke beberapa daerah. Satu hal lagi
yang penting untuk dicatat bahwa terjadi semacam pergeseran, shift paradigm,
dalam konteks rujukan penafsiran. Jika para sahabat tidak tertarik
menggunakan riwayat-riwayat israiliyyat dari ahl al-kitab maka tidak demikian
halnya dengan para tabi’in yang sudah mulai banyak menggunakan sumber-sumber
isra’iliyyat sebagai rujukan penafsiran. Terutama untuk menafsirkan ayat-ayat
kisah. Faktor utamanya adalah banyaknya ahli kitab yang masuk Islam dan para
tabi’in ingin mencari informasi secara lebih detail kepada mereka tentang
kisah-kisah yang masih bersifat global. Diantara para ahli kitab yang kemudian
masuk Islam dan menjadi rujukan dalam menafsirkan ayat-ayat kisah adalah
Abdullah bin Salam, Ka’b bin Akhbar, Wahb bin Munabbih, dan Abdul Aziz bin
Juraij.[30]
e.
Al-Qira’at
al-Syadzdzah
Al-Qira’at al-Syadzdzah secara
tipologikan berasal dari al-Qira’at dan merupakan bacaan al-Qur’an yang tidak
memenuhi syarat kulifikasi al-Qira’at al-Shahihah; bersambungnya sanad,
bersesuaian dengan bahasa Arab walaupun hanya dari satu aspek, dan bersesuaian
dengan rasm Mushaf al-Utsmani. Al-Qiraat al-Syadzdzah terdiri dari empat
macam qira’ah; Pertama, Ibn Muhaishan: Muhammad bin ‘Abd al-Rahman al-Sahmi
al-Makky yang merupakan ahli Qiraah di Mekkah (w. 123 H), Kedua, al-A’masy:
Sulaiman bin Mahran al-Kufi, qori ahli Kufah (w. 147), Ketiga, al-Hasan bin Yasar
al-Bashari, Imam ahli Bashrah (w. 110 H), Keempat, al-Yazidi: yahya bin
al-Mubarak al-‘Aduwwi al-Bashri, merupakan qari dari Bashrah (w. 202).[31]
Empat macam qiraah ini
bukanlah al-Qur’an akan tetapi merupakan komentar-komentar yang membantu
sesoerang untuk memahami dan menafsirkan al-Qur’an serta memperjelas maknanya
dan – dari aspek ini – al-Qiraah al-Syadzdzah bisa disebut sebagai salah
satu sumber tafsir bi al-Matsur. Walaupun secara historis banyak qiraah
syadzdzah yang terekam dalam mushfah yang kemudian dibakar oleh khalifah Utsman
dalam rangka menyamaratakan standarisasi al-Qur’an akan tetapi qiraah ini masih
tetapi eksis. Kitab yang paling populer untuk melihat empat macam qiraah ini
adalah kitab yang dikarang oleh Muhammad Fahd al-Kharuf, al-Masir fi
al-Qiraat al-Arba’ah. Di dalam legalisasi qiraah ini dijadikan sebagai
sumber penafsiran, ‘Abd al-Fattah, pengarang kitab al-Qiraat al-Syadzdzah wa
Taujihuha menyatakan bahwa jika engkau mengetahi bahwa al-Qiraat
al-Syadzdzah tidak menjadi sebuah qiraat secara mutlaq maka ia sebenarnya
diperbolehkan untuk diajarkan dan diketahui dan juga kodifikasnya bagi
al-Qur’an, begitu pula ia bisa dijadikan salah satu sumber untuk
meng-instinbath- hukum.[32]
Sebagai contoh surah
al-Baqarah [2]: 104. Seluruh qiraat mempunyai qiraat yang sama, yaitu راعنا dengan fathah diakhirnya. Kata ini merupakan
bermakna ahmilna wa andzirna wa la tata’ajjal ‘alaina. Akan tetapi Ibn
Muhashin dan al-Hasan al-Bashri membacanya ra’inan, yang bermakna al-Khuffah
wa al-Tisyu. Jika direlasikan dengan susunan kalimatnya maksud daripada
ayat itu janganlah mengatakan pernyataan yang mengandung keburukan, dza
ru’unatin wa qabhin. Maka secara keseluruhan qiraah ini berkmakna, Allah
melarang kaum msulimin untuk mengatakan sesuatu yang tidak bermanfaat dan
sebaliknya mereka dituntut untuk mengatakan pernyataan yang baik. Makna ini
shahih akan tetapi qiraahnya syadzdzah karena tidak bersesuaian dengan
al-Qur’an, dan ia bukanlah al-Qur’an.[33]
f.
Al-Qiraat al-Tafsiriyyah
Para ulama menamakan
sumber ini sebagai al-Mudraj. Ia dimaknai sebagai pernyataan para
sahabat yang merupakan komentar atau tafsir dari sebagian ayat, dan mereka
mengetahui dan meyakini itu bukanlah ayat, dan bukan pula dari al-Qur’an. Dari
definisi ini seakan-akan al-Qiraat al-Tafsiriyyah mempunyai makna yang
sama dengan al-Qiraah al-Syaddzah.
Akan tetapi ada perbedaan
yang mencolok diantara keduanya, yaitu yang pertama al-Qiraah al-Syadzdzah merupakan
ucapan atau kalam dari sebahagian qari terhadap suatu kalimat dalam
al-Qur’an sedangkan al-Qiraat al-Tafsiriyyah hanya merpakan tambahan yang
masuk dalam ayat al-Qur’an yang disimpan oleh para sahabat diantara kalimat
suatu ayat, yang dilakukan secara sadar oleh mereka. Sumber semacam ini
kemudian disebut pula al-Tafsir al-Shahabi. Di dalam hal validisasinya
sama dengan riwayat para sahabat, harus – secara kualitas – terbuktu shahih. [34]
Contoh daripada surah
al-Baqarah [2]: 198, لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوا
فَضْلًا مِنْ رَبِّكُم. Disini kemudian Ibn ‘Abbas menambahkan kalimat في موسم الحج setelah kalimat tersebut. Dari ayat ini
Ibn ‘Abbas berpendapat bahwa diperbolehkan berdagang ketika musim haji atau
menghadirkan barang dagangan ketika haji yang akhirnya akan dibelli oleh
aktivis haji.[35]
Argumen Ibn ‘Abbas sendiri berangkat dari fenomena historis dan asbab nuzul
al-Qur’an yang saat itu orang Arab Jahiliyyah berdagang pada musim haji akan
tetapi ketika mereka masuk Islam maka meraka enggan melakukan kebiasa tersebut
dan khawatir menjadi perbuatan yang mubah. Maka mereka pun bertanya kepada Nabi
perihal diperbolehkannya berdagang pada musim haji. Maka Allah menurunkan ayat
ini sebagai jawaban dari pertanyaan mereka dan memperbolehkan untuk mencari
kemuliannya.[36]
Model penafsiran bi
al-Matsur ini oleh Abdul Mustaqim dalam disertasinya disebut sebagai masa
tafsir era formatif dengan nalar quasi-kritis. Yaitu sebuah masa penafsiran
yang masih kental dengan nalar bayani dan berisfat deduktif, dimana teks
al-Qur’an menjadi dsasar penafsiran dan bahasa menjadi perangkat analisisnya.
Dan yang paling menonojol dari tipe ini adalah penggunaan metode periwayatan
serta simbol-simbol tokoh
g.
Israiliyyat;
Al-Dzahabi menyatakan bahwa
ketika berbicara tentang al-Tafsir bi al-Ma’tsur maka sama saja kita tidak bisa
melepaskan pembahasan tentang Israiliyyat.[37]
Israiliyyat secara terminologis adalah kisah-kisah di luar al-Qur’an tetang
para nabi dan masyarakat pra-Islam yang disebutkan dalam al-Qur’an.[38]
Orang-orang yang menyebarkan israiliyyat diantaranya adalah ‘Abdullah bin
Salam, Ka’b al-Akhbar, Wahb bin Munabbih, dan ‘Abd al-Malik bin ‘Abd al-‘Aziz
ibn Juraij.[39]
Kebutuhan israiliyyat
ini, menurut Ibn Khaldun, dilatarbelakangi dari orang Arab yang pada awalnya
memang umiyyun, dalam arti la yatluna al-Kitab. Artinya dalam
konteks penafsiran al-Qur’an perihal tentang kisah maka mereka secara mayoritas
tidak mengetahui secara mendalam. Apalagi yang diprioritaskan dalam al-Qur’an
sendiri adalah ‘ibrah. Oleh sebab itu mengapa para sahabat banyak yang
bertatanya tentang sebuah kisah secara mendetail kepada orang bani Israil yang
masuk Islam.
Akan tetapi para ulama
saat ini banyak mempertanyakan posisi israiliyyat apakah memang benar-benar
harus menjadi sumber otoritatif dalam tafsir bi al-Matsur atau tidak. Jauh hari
Rasulullah pernah bersabda, “hadditsu ‘an bani israila wa la haraj” dan
“idza haddatsakum bani israila fala tushaddiquhum wa la tukadzdzibuhum
fainnahu in yakun haqqan fatukadzdzibuhum au yakun bathilan fathusaddiquhum.[40]
Dua hadis rasulullah ini tiada lain anjuran untuk bersikap hati-hati dalam
menjadi israiliyyat sebagai sumber penafsiran.
Ingrid Matson, sarjana
Muslim kelahiran Kanada, mencatat terkadang kisah israiliyyat sering
memutarbalikkan norma al-Qur’an yang rata-rata berbicara seputara perempuan.[41]
Barbara Stowasser mencatat, kisah-kisah misoginis ini diterima dan
disebarluaskan melalui ijmak para ahli hukum dan teologi hingga kaum reformis
pra-modern abad ke-18 mulai mempertanyakan otoritas mereka. Sejak abad ke-19,
kalangan modernis Islam menolak keautentikan doktrin yang mreka pandang sebagai
kisah ekstra-tafsir abad pertengahan, sambil menegaskan ulang gagasan al-Qur’an
tentang kebutuhan individual dan tanggung jawab moral perempuan.[42]
Dalam surah al-Maidah
[5]: 13 dinyatakan bahwa pesan asli dalam wahyu-wahyu sebelumnya telah berubah
atau hilang. Oleh sebab itulah para ulama memahami bahwa kitab suci orang
Yahudi dan Kristern bukanlah sumber pengetahuan ilahi yang sepenuhnya bisa
dipercaya. Pada saat yang sama, ada sejumlah ulama yang tidak mau menolak
begitu saja kitab-kitab suci terdahulu. Karena, menurut mereka, bisa jadi
kitab-kitab itu masih memuat materi yang benar-benar orisinil berasal dari
al-Qur’an.
Al-Dzahabi saja mencatat
israiliyyat sebagai sesuatu yang positif, yang pada dasarnya menyebar dan
meluas pada masa penafsiran tabi’in. Mumayyazat al-Tafsir fi hadzihi
al-Marhalah, begitulah kalimat yang ia tulis dalam sub judul perihal
kelebihan tafsir era tabi’in. Karena menurutnya pada masa tabi’in ada
penafsiran tambahan semisal khabar tentang penciptaan para makhluk,
rahasia-rahasia eksitensi makhluk, dan yang lainnya. [43]
Dus Muslim harus bersikap
terhadap israiliyyat sebagaimana bersikap terhadap riwayat. Permasalahannya
belum ada standarisasi kebenaran di dalam penerimaan khabar israiliyyat. Akan
tetapi standar kritik matan, yang marak pada masa kontemporer ini – seperti
yang dikembangkan oleh al-Adlabi, semisal jika suatu khabar bertentangan dengan
al-Qur’an dan Hadis serta rasional maka khobar itu harus ditolak.
C.
TAFSIR BI
AL-RAY; UPAYA PENAFSIRAN RASIONAL TERHADAP AL-QUR’AN
1.
Definisi
etimologi serta terminologi al-Ra’y
Al-Ra’yu secara
etimologis merupakan masdar dari ra’a – yara yang beramkan melihat dan
menyaksikan, al-Ibshar wa al-Musyahadah. Kata ini biasa dipakah dalam
berfikir, meneliti dan menelaah. Abu al-baqa menyatakan bahwa al-Ra’y merupakan
keyakinan sesoerang terhadap dua hal yang bertentangan, yang cenderung bernilai
al-Dzann[44].
Al-Dzahabi menyatakan bahwa kata ini dipakai dalam i’tiqad, ijtihad, juga
terhadap qiyas. Dalam sejarah ahl al-Rayy kemudian disebut juga ahl
al-Qiyas.
Di dalam fiqh, ra’y dan
qiyas adalah dua hal yang diktirisasi pada masa al-Shafi’i yang dengannya
al-Shaf’i mampu mendekatkan al-Qur’an dengan hadis. Maka berkembanglah
istilah yang menyatakan bahwa ra’y
berbeda dengan al-‘ilm. Yang pertama, walaupun sama-sama menggunakan akal
sebagai sandarannya, tetapi penggunanannya tidak atau kuerang terkontrol karena
lebih kepada prefensi personal atau pendapat pribadi, sedangkan yang kedua
lebih kepada suatu perkara yang sudah teridentifikasi, sistematis dan lebih
obyektif.[45]
Secara terminologis
al-Tafsir bi al-Ra’yi adalah upaya memahami al-Qur’an berlandaskan ijtihad
setelah si mufassir memiliki pengetahuan tentang bahasa Arab, dari aspek
lafadz, makna serta kergaman makna, dan semantik Arab dalam syi’ir Jahili, dan
juga asbab al-Nuzul, al-Nasikh wa al-Mansukh, dan alat yang lainnnya yang
dibutuhkan oleh para mufassir.[46]
Dengan makna yang sama Khalid al-‘Aq meenyatakan bahwa al-Tafsir bi al-Ra’i
adalah suatu tafsir yang disandarkan pada pemahaman yang mendalam serta
terpusat kepada makna dari lafadz lafadz al-Qur’an dengan sarat si mufassir harus mengetahui
maksud dari ungakapan al-Qur’an yang tersusun di dalam kalimat tersebut.[47] Di
dalam perkembangannya kemduian tafsir ini dibagi menjadi dua macam, mahmud
maqbul dan madzmum mardud.
2.
Legalitas
pemakaian al-Tafsir bi al-Ra’y
Para ulama dalam hal ini
berbeda pendapat tentang kebolehan pemakaian al-Ra’y dalam penafsiran.
Dan diantara mereka pula ada yang memperbolehkannya tanpa ada persaratan
tertentu. Diantara para ulama yang sudah memperbincangkan perdebatan ini
diantaranya adalah Abu Hayyan al-Andalusi dalam kitabnya al-Bahr al-Muhith, Imam
al-Syathibi dalam kitabnya al-Muwafaqat, Jamaluddin al-Qasimi dalam
tafsirnya Mahasin al-Ta’wil, Muhammad al-Thahir bin ‘Asyur di dalam al-Tahrir
wa al-Tanwir, Muhammad Husein al-Dzahabi dalam al-Tafsir wa
al-Mufassirun.
a.
Dalil para ulama yang
melarang penggunan al-Ra’y[48]
Al-Isra [17]:
36,
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ
وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
Al-Nahl [16]: 44
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ
الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ
يَتَفَكَّرُونَ
Hadis Rasulullah;
من
كذب على القرآن من غير علم فليتبوأ مقعده من النار (رواه الترمذي وأحمد)
b.
Dalil para ulama yang
memperbolehkan penggunaan al-Ra’y
Muhammad [47]: 24,
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآَنَ أَمْ عَلَى قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا
Shad [38]: 29;
كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آَيَاتِهِ
وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَاب
Al-Nisa [4]: 83
وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُولِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ
لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ
Doa nabi Muhammad saw
kepada Ibn ‘Abbas,
اللهمّ فقهه في الدين وعلمه التّأويل (رواه البخارى وأحمد)[49]
Nampak
bahwa ayat al-Qur’an serta dalil hadis menjadi landasan para ulama untuk
mendukung argumentasi mereka masing-masing. Para ulama disini bersifat eklektik
dengan hanya memilah dan memilih ayat-ayat yang mendukung argumentasi mereka
saja. Sehingga dua dua argumentasi para ulama di atas tidak dapat dibenarkan.
Sehingga dua-duanya harus dijadikan sebagai dasar argumentatif untuk penggunaan
al-Ra’y dalam tafsir.
Al-Tafsir
bi al-Ra’y, sebagaimana dinyatakan oleh al-Dzahabi diperbolehkan
selama itu tidak bertentengan dengan al-Qur’an dan Sunnah dan juga harus
dilengkapi dengan syarat-syarat penafsiran serta harus sesuai dengan tradisi
bahasa Arab. Nampak bahwa pernyataan ini sesuai dengan definisi yang
disampaikan oleh al-Dzahabi. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Ibn Taimiyyah
dalam Ushul al-Tafsir bahwa barang siapa yang berbicara tentang tafsir
dengan pengetahuannya yang sesuai dengan bahasa (baca: Arab) dan syari’at maka
tidak ada dosa baginya, faamma man takallama biha ya’lamu min dzalika
lughatan wa syar’an fala haraja ‘alaih.[50]
Dengan
melihat sisi historis pengarang kitab tafsir Ibn ‘Asyur menyatakan bahwa al-Tafsir
bi al-Matsur tidaklah cukup untuk menafsirkan al-Qur’an secara keseluruhan
karena tafsir semakin meluas dan juga para sahabat memilih pandangan
bermacam-macam dalam produksi makna. Maka andaikata tidak ada al-Tafsir bi
al-Ra’yi maka penafsiran terhadap al-Qur’an hanyalah komentar yang singkat
dan terbatas pada lembaran-lemabaran yang sedikit sehingga ia tidak berarti, nuzuran.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Ali Ahmad Said, akrab diapanggil Adonis,
bahwa al-Nushus Tsabitatun wa al-Ahwalu mutaghayyiratun.[51]
3. Prasyarat al-Tafsir bi al-Ra’y al-Mahmud
Sebelum masuk
pada syarat-syarat tafsir ini, setidaknya ada beberapa ilmu yang wajib dimilik
oleh mufassir, al-‘Ulum al-Dlaruriyyah li al-Mufassir, al-‘Ilmu bi
al-Qur’an, bi al-Sunnah, bi al-Sirah wa hayat al-Shahabah, bi tarikh al-Qur’an,
bi qawa’id al-Qur’an, bi al-Lughah al-‘Arabiyyah, bi al-Nahwi wa al-Sharfi, bi
al-Balagh al-‘Arabiyyah bi al-Qiraat al-Quraniyyah bi al-‘Aqidah al-islamiyyah,
bi Ushul al-Fiqh, bi tarikh al-‘Arab al-jahily, bi tarikh al-Sabiqin bi
al-Madzahib al-Fikriyyah al-Mukhtalifah, al-Tsasqafah al-Mu’atsirah.[52] Semua ini,
jika menggunakan istilah Amin al-Khulli disebut ma fi al-Nash dan ma
haul al-Nash.
Berangkat
dari hal tersebut maka al-Dzahabi mewanti-wanti para ulama yang akan
menggunakan al-Tafsir bi al-Ra’y, dengan syarat,
Pertama,
kembali kepada al-Qur’an, intertekstualitas, yang
dengannya seseorang harus mengumpulkan semua ayat yang mempunyai tema yang sama
dan yang saling berhubungan satu dengan yang lainnya, yang akhirnya akan
terjadi dialektika antar teks-teks tersebut, baik mendetailkan yang mujmal atau
yang lainnya, yang ini tiada lain adalah tafsir al-Qur’an bi al-Qur’an.
Kedua, menukil hadis rasulullah saw dengan selalu berhati memilah dan
memilih hadis yang shahih dan tidak. Ketiga, mengambil riwayat para
sahabat. Keempat, menggunakan kaidah bahasa Arab, karena al-Qur’an
diturunkan dan dengan menggunakan bahasa Arab, Kelima, al-Tafsir dengan
menggunakan syi’ir.[53]
Dalam hal ini
Shollah ‘Abd al-Fattah al-Khalidi benar ketika mengatakan bahwa mau tidak
mau al-Tafsir bi al-Ma’tsur harus menjadi langkah awal bagi seseorang
sebelum menggunakan ra’y dalam menafsirkan al-Qur’an. Walaupun ia
sendiri dalam hal ini menggunakan istilah lain, yaitu al-Tafsir al-Atsari
al-Nadzri.[54]
Al-Dzahabi kemudian
menegaskan bahwa ada lima perkara yang harus para mufassir jauhi ketika ia
menafsirkan al-Qur’an dengan menggunakan al-Ra’y; Pertama, lemahnya
seseorang di dalam menjelaskan maksud dan tujuan Allah dari al-Qur’an dengan
ketidaktahuan terhadap kaidah bahasa serta dasar fundamental syari’at. Kedua,
berbicara panjang lebar tentang pengetahuan yang hanya Allah yang
mengetahuinya, semisal fenomena hari kiamat, ketiga, menggunakan hawa
nafsur dan istihsan, keempat, menggunakan tafsir yang bathil, dan kelima,
menafsirkan secara pasti bahwa tujuan Allah adalah kadza wa kadza tanpa
adanya dalil.
Adapun kitab-kitab yang
populer karena penggunaan al-Ra’y nya dalam tafsir diantaranya adalah
al-Baidlwai dalam kitabnya anwar al-Tanzil fi asrar al-Ta’wil, al-Zamaksyari
dengan al-Kasysyaf, al-Razi dengan Mafatih al-Ghaib atau al-Tafsir
al-Kabir, al-Ashafahani dengan Jami al-Tafasir, Imam al-Nisfiy
dengan Madarik al-Tanzil wa haqaiq al-Ta’wil, al-Qummy al-Naisabury
dengan Gharaib al-Qur’an wa raghaib al-Furqan, dsb.[55]
Maka sebenarnya batas al-Ra’y
al-Mamduh dan al-Madzmum terletak apakah ketika ia menafsirkan
diiringi dengan keilmuan atau tidak, sebagaimana disebutkan diatas. Bila tidak,
maka itulah yang disebut dengan al-Ra’y al-Madzmum.[56]
4.
Al-Tafsir
bi al-Ra’yi dan Ta’wil
Bab ini
sengaja penulis hadirkan karena ada pertautan istilah yang harus diklarifikasi,
yaitu apakah al-Tafsir bi al-Ra’yi itu ta’wil? Hal ini karena ada beberapa
ulama, bahkan ulama salaf yang menggunakan keduanya dalam konteks yang sama.
Contoh saja para ulama yang mendukung legalitas al-Tafsir bi al-Ra’y yang
merujuk pada do’a Nabi untuk Ibn ‘Abbas, yang akhirnya menyebutkan kata ta’wil.
Ibn Rushd pun mengistilahkan al-Tafsir bi al-Ra’y nya dengan ta’wil.[57] Hal ini
diperjelas oleh al-Dzahabi dengan mengatakan bahwa memang yang dimaksudkan
dalam ta’wil itu adalah al-Tafsir bi al-Ra’y, yang intinya
keduanya menggunakan alat operasional penafsiran yang sama yaitu akal sebagai
landasan utama atau ijtihad.[58]
Inilah yang
kemudian menjadi alasan, secara implisit, dari para ulama semisal al-Baidlawi
serta Imam al-Nisfiyy yang secara eksplisit menggunakan kata ta’wil pada
nama kitabnya.
5. Contoh aplikasi al-Tafsir bi al-Ra’y
Disini
penulis akan menghadirkan salah satu contoh dari tafsir al-Razi yang berkaitan
tentang al-Wa’d dan al-Wa’id. Adapun metodologi penafsiran
al-Razi adalah, Pertama, Penggunaan metode Tahlīlī, yaitu menafsirkan
ayat-ayat al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam
ayat yang ditafsirkan, serta menerangkan makna-makna yang tercangkup di
dalamnya sesuai dengan keahlian dan kecenderungan seorang mufassir.[59]
Kedua, selain itu
di dalam al-Razi pun menggunakan metode munasabah. Munasabah dalam tafsir ini
selayaknya dalam kitab tafsir-tafsir lain, yaitu menghubungkan antara ayat satu
yang berkaitan dengan ayat lainnya. Tentunya, hasil yang ditafsirkan akan
berbeda walaupun menggunakan metode yang sama. Hal ini karena kecenderungan
penafsir sendiri yang memberlakukan metode ini sesuai dengan kapasitas
pengetahuannya dan ideologinya. Ketiga, metode bi al-Ra’y juga
diterapkan dalam tafsir ini, dan dapat diketahui dengan banyaknya tafsir
al-Razi yang didominasi oleh ilmu-ilmu aqliyyah.
Adapun ayat yang akan ditafsirkan adalah surah al-Nisa
[4]: 13-14
تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَمَنْ يُطِعِ
اللَّهَ وَرَسُولَهُ يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ
خَالِدِينَ فِيهَا وَذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَتَعَدَّ حُدُودَهُ يُدْخِلْهُ
نَارًا خَالِدًا فِيهَا وَلَهُ عَذَابٌ مُهِينٌ
(Hukum-hukum
tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat kepada
Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya kedalam syurga yang mengalir
didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah
kemenangan yang besar. Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan
melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api
neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan. QS. al-Nisā [4]: 13-14)
Kedua
ayat ini merupakan salah dua ayat dari sekian ayat dalam al-Qur’an[60] yang membahas tentang al-Wa’d – janji
– dan al-Wa’īd, ancaman, yang
pada kasus teologis, merupakan salah satu prinsip dari ushūl al-Khamsah yang
menjadi pegangan kaum Mu’tazilah. Hal ini
Kasus
spesifik yang akan dihadirkan dari ayat ini adalah penerima wa’id
sendiri. Perdebatan ini muncul pada jumlah, وَيَتَعَدَّ
حُدُودَهُ يُدْخِلْهُ نَارًا خَالِدًا فِيهَا. dan yang diperdebatkan adalah – pada konteks
ayat ini – siapakah yang akan masuk pada neraka dan kekal di dalamnya, apakah
orang yang melanggar batasan Allah pada kasus ayat sebelumnya, tetang al-Mawarits,
atau lebih jauh lagi, apakah orang yang melanggar seluruh batasan-batasan Allah.
Mu’tazilah menyatakan
ayat ini menunjukan bahwa orang-orang yang mengerjakan shalat, ahl
al-Shalāh, yang berbuat kefasikan – disini al-Razi menggunakan fa’il bukan
fi’il, Fussāq – tetap berada dan kekal di Neraka.[61] Mu’tazilah berargumen bahwa ayat ini memang
menunjukkan kepada kekhususan yang ditunjukan kepada orang yang melampai batas
dalam hal mawārīts. Namun, ayat ini pun bersifat umum, sehingga
orang-orang yang melampaui batas itu pun mencakup ahl al-shalāh ataupun
bukan. Maka Mu’tazilah kemudian menyimpulkan al-Wa’id disini bukan hanya
bagi orang-orang yang melanggar batasan-batasan Allah – pada konteks ayat ini
saja – namun menunjukan kepada orang-orang yang melanggar atau melampaui segala
batasan-batasan Allah pada skala yang besar – tidak hanya terpaut pada konteks
ayat ini.[62] Secara singkat, bahwa yang dimaksudkan oleh
Mu’tazilah adalah term wa’id ini bukan hanya terpaku pada orang-orang
yang melanggar pada hal waris saja tetap pada orang-orang yang melanggar
peraturan Allah secara keseluruhan, baik itu aspek kepribadian, shalat, maupun
sosial.
Respon
al-Razi
هذا
مدفوع من وجهين : الأول : انا لو حملنا هذه الآية على تعدي جميع حدود الله خرجت
الآية عن الفائدة لأن الله تعالى نهى عن اليهودية والنصرانية والمجوسية ، فتعدي
جميع حدوده هو أن يترك جميع هذه النواهي ، وتركها إنما يكون بأن يأتي اليهودية والمجوسية
والنصرانية معا وذلك محال ، فثبت أن تعدى جميع حدود الله محال فلو كان المراد من
الآية ذلك لخرجت الآية عن كونها مفيدة ، فعلمنا ان المراد منه أي حد كان من حدود
الله
Al-Rāzī
menyanggah pernyataan ini – dengan kepercayaan dirinya al-Rāzī mengatakan, hadzā
Madfū’un min wajhain – dengan dua argumentasi. Pertama, al-Rāzī
mengatakan apabila ayat ditunjukan ini kepada orang yang melanggar seluruh
batasan-batasan Allah, maka dengan secara tidak langsung kita membiarkan ayat
ini keluar dari faidahnya sendiri. Sebagai contoh kasus, Allah melarang
seseorang melakukan perbuatan orang-orang majusi, nashrani, dan Majusi, maka
jika dia melanggar seluruh batasan-batasan-Nya, sesungguhnya ia telah
meninggalkan seluruh larangannya. Oleh sebab itu ketika dia melanggar – pelarangan
Allah untuk mengikuti perbuatan orang-orang Yahudi, Nashrani dan Majusi – maka dia telah melanggar seluruh larangan
Tuhan, apakah ini logis? Dan tidak logis pula apa yang telah dinyatakan oleh
Mu’tazilah tadi. Dan jika ayat ini dimaksudkan seperti itu, maka ayat ini
benar-benar keluar dari wujudnya, kaun. Daripada itu, al-Razi menegaskan
bahwa yang dimaksud pada ayat ini adalah, salah satu batasan dari
batasan-batasan Allah, ayyu haddin min hudud Allah!.
الثاني
: هو أن هذه الآية مذكورة عقيب آيات قسمة المواريث ، فيكون المراد من قوله : {
وَيَتَعَدَّ حُدُودَهُ } تعدى حدود الله في الأمور المذكورة في هذه الآيات . وعلى
هذا التقدير يسقط هذا السؤال
Kedua,
menurut
al-Razi ayat ini merupakan konsekuensi kontinuitas ayat yang sebelumnya
membahas tentang pembagian harta warisan. Maka yang menjadi maksud dari
kalimat, wayata’adda hudūdahu, adalah melanggar batasan-batasan Allah
dalam perkara tersebut, yaitu pembagian harta warisan. Oleh sebab itu, maka
terbantahkanlah pernyataan Mu’tazilah.[63]
Analisis
Argumentasi al-Razi
Dari penolakan yang telah dikatakan oleh
al-Razi pada kasus ini, wa’d dan wa’id, maka setidaknya ada beberapa metode
yang digunakan oleh al-Razi untuk menyatakan argumentasinya. Pertama,
menggunakan analogi penegasan untuk memberikan perbedaan antara sebagian dan
keseluruhan. Pernyataan ini didapatkan pada pernyataannya, “Ketika seseorang
melanggar – pelarangan Allah untuk mengikuti perbuatan orang-orang Yahudi,
Nashrani dan Majusi – maka dia telah
melanggar seluruh larangan Tuhan, apakah ini logis?” Pada kasus ini bisa
dilihat bagaimana pemakaian rasionalitas al-Razi sendiri lebih hebat
‘tajam’ dari rasionalitas Mu’tazilah. Karena pada dasarnya, analogi merupakan
salah satu cara untuk mendapatkan suatu kesimpulan secara rasional[64] pada suatu kasus. Dan hal yang perlu dilihat
kembali adalah argumentas Mu’tazilah yang tidak berangkat dari dasar sebuah
pemikiran yang jelas. Hal ini bisa dilihat dari metode yang digunakan oleh
al-Razi pada metode yang kedua.
Kedua, menggunakan Munāsabah. Pada kasus ini
al-Razi mempertahankan argumentasinya dengan pernyataan bahwa ayat ini tidak
bisa lepas dari pembahasan ayat selanjutnya, yang menerangkan tentang pembagian
harta warisan. Maka jika dilihat secara beruntut, sebenarnya yang yang menjadi
dasar pemikirannya adalah munasabah ayat itu sendiri, namun kenapa al-Razi
lebih dahulu mendahulukan analoginya? Hal ini mungkin untuk mengimbangi
pemikiran rasionalitas Mu’tazilah sendiri sehingga kasus ini bisa menghasilkan
sebuah kesimpulan bahwa dua orang yang berbeda walaupun memakai pemikiran yang
sama, rasionalitas pada kasus ini, belum tentu menghasilkan suatu kesimpulan
yang sama. Karena ada hal-hal yang melatarbelakanginya. Dan yang
melatarbelakangi pemikiran al-Razi sendiri adalah munasabah ayat itu sendiri
dengan ayat sebelumnya.
D.
AL-TAFSÎR AL-ISYÂRÎ, MENCARI MAKNA MAKNA SIMBOLIK
Dalam pandangan
al-Dzahabî al-Tafsîr al-Sûfî atau penafsiran esoteris ada sejak
diturunkannya al-Qur’ân. Hal itu sebagaimana yang diisyaratkan oleh al-Qur’ân
dan juga dijelaskan oleh Rasul dan diketahui oleh para sahabat. Terdapat
beberapa ayat al-Qur’ân yang mengisyaratkan keberadaan corak tafsir ini,
seperti sûrat al-Nisâ’ [4]: 78, famâli hâulâi al-Qaum lâ yakâdûna yafqahûna
hadîtsâ;[65]
al-Nisâ’ [4]: 82, afalâ yatadabbarûn al-Qur’ân wa lau kâna min ‘ind
ghairillâhi lawajadû fîh ikhtilâfan katsîra[66];
Muhammad [47]: 24, afalâ yatadabbarûn al-Qur’ân am ‘alâ qulûbin
aqfâluhâ.[67]
Keseluruhan ayat ini
menunjukkan bahwa al-Qur’ân mengandung makna zâhir dan bâtin.
Oleh sebab itu Allâh mengingatkan pada orang kafir bahwa mereka tidak mampu
memahami hadîtsâ, dan mendorong mereka untuk merenungi ayat-ayat
al-Qur’ân. Namun yang Allâh inginkan bukanlah pengertian serta pemahaman mereka
terhadap ayat ini tetapi bagaimana mereka mengerti maksud Allâh. Maka kemudian
Allâh menggunakan kata tadabbur untuk sampai
pada ma‘nâ Allâh. Menurut al-Dzahabî, itulah yang dimaksud dengan aspek bâtin
yang tidak diketahui dan tidak bisa dicapai oleh pikiran – semata – mereka.[68]
Adapun menurut Kristin
Zahra Sands, para sufi yang – memang dekat dengan penafsiran esoteris – pun
memiliki basis argumentasi penafsiran mereka dari al-Qur’ân. Seperti dalam
sûrah al-An’âm [6]: 28, mâ farratnâ fî al-Kitâb min syai;[69]
[36]:12 wa ahsainâh fî imâm mubîn;[70]
al-Hijr [15]: 21 wa inna min syain illâ min ‘indinâ khazâinuh wa mâ
nunazziluh illâ bi qadar ma‘lûm.[71]
Al-Suyûtî melihat
bahwa adanya ta’wîl merupakan konsekuensi logis dari universalitas –
makna – al-Qur’ân yang memiliki banyak aspek, wujûh. Abû Nu‘aim dan Ibn
‘Abbâs, sebagaimana dikutip oleh al-Suyûtî, meriwayatkan hadis dari
nabi; الْقُرْآنُ ذَلُوْلٌ
ذُوْ وُجُوْهٍ فَاحْمِلُوْهُ عَلىَ أَحْسَنِ وُجُوْهِهِ.[72] Al-Suyûtî
pun menegaskan bahwa hadis ini menunjukan adanya dimensi ijtihâd dalam
menafsirkan al-Qur’ân. Dimensi ijtihad ini mengisyaratkan level makna yang
tentunya tidak terbatas dan tidak dibatasi hanya pada satu makna tertentu. Secara
lebih detail hadis yang menunjukkan adanya dimensi zâhir dan bâtin
dari al-Qur’an adalah hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Abî Hâtîm melalui jalur
al-Dahhâk, dari Ibn ‘Abbâs; [73]
إِنَّ القُرْآنَ
ذُوْ شُجُوْنٍ ، وَفُنُوْنٍ ، وَظُهُوْرٍ ، وَبُطُوْنٍ . لاَ تَنْقَضِي عَجَائِبُهُ
، وَلاَ تَبْلُغُ غَايَتُهُ . فَمَنْ أَوْغَلَ فِيْهِ بِرِفْقٍ
نَجَا ، وَمَنْ أَوْغَلَ فِيْهِ بِعنف غَوىَ . أَخْبُارٌ وَأَمْثَالٌ وَحَرَامٌ وَحَلاَلٌ
، وَنَاسِخٌ وَمَنْسُوْخٌ ، وَمـُــــحْكَمٌ وَمُتَشَابِهٌ ، وَظَهْرٌ وَبَطْنٌ .
فَظَهْرُهُ التِّلاَوَةُ ، وَبَطْنُهُ التَّأوِيْلُ . فَجَالِسُوا بِهِ العُلَمَاءِ
، وَجَانِبُوْا بِهِ السُّفَهَاءَ ، وَإِيَّاكُمْ وِزْلَةَ العَالِمِ
Keberadaan hadis di atas pun ditegaskan dengan hadis yang
diriwayatkan dari al-Hasan, لِكُلِّ
آيَةٍ ظَهْرٌ وَبَطْنٌ وَلِكُلِّ حَرْفٍ حَدٌّ وَلِكُلِّ حَدٍ مَطْلَعٌ.[74]
Dengan sedikit berbeda
al-Tabarî mengutip sebuah hadis yang memiliki redaksi yang sedikit
berbeda dengan penambahan “unzila al-Qur’ân ‘alâ sab‘ah ahruf”.
Hadis ini menurut, Kristian Zahra Sand, merupakan ayat yang sering dirujuk para
sufi untuk memperkuat interepretasi esoteris mereka. Al-Tabarî
memasukkan hadis ini kedalam hadis tentang sab‘ah ahruf. Ahruf
tersebut dipahami oleh al-Tabarî sebagai dialek, alsun, Arab
dan aspek, awjuh dari pewahyuan al-Qur’ân. Berikut pernyataan al-Tabarî;
Setiap huruf
memiliki hadd “berarti masing-masing dari tujuh aspek memiliki
batasan yang dibatasi oleh Allâh yang tidak semua orang mampu melaluinya. Ada
pun pernyatan setiap huruf memiliki aspek zâhir dan bâtin;
yang pertama adalah bacaannya dan yang kedua adalah interpretasi, ta’wîl,
terhadap hal-hal yang tersembunyi. “Setiap batas memiliki titik tertentu, matla’,
bermakna bahwa setiap batasan yang Allâh gambarkan sebagai perintah serta
larangan serta kasih sayang-Nya yang menampakkan hukum-hukum yang telah diukur
dengan pahala dan hukuman dari Tuhan yang akan dilihat pada hari akhir, serta
hari kebangkitan. Hanya dalam hal ini ‘Umar bin al-Khattâb mengatakan,
“Apabila sesuatu di dunia ini dikembalikan kepada saya, tentu saya akan
menebusnyanya dengan jiwa saya untuk melawan rasa “ngeri” dari muttala’.[75]
Dengan lebih luas
al-Naqîb melihat bahwa yang dimaksud dengan zâhir al-Qur’ân adalah makna
yang tampak pada ahli ilmu secara lahir sedangkan batinnya ialah rahasia yang
terkandung di dalamnya yang diperlihatkan Allâh swt kepada ahli hakikat. Dalam
hal ini al-Tabarî menambahkan
bahwa adanya zahr itu dikhususkan untuk orang-orang yang ahli
dalam bahasa ‘Arab, ahl al-‘Arabiyyah. Sedangkan aspek esoterisnya, bâtin-nya
untuk orang-orang tertentu dan batasan, hadd untuk para ahli zâhir,
eksoterisis, serta matla’nya untuk orang-orang yang ditinggikan
atau dimuliakan oleh Allâh, atau ahl al-‘Irfân, yang sudah melihat
segala kebaikan dari Tuhan.[76]
Adapun menurut Nizâm
al-Dîn al-Nisâbûrî – dengan melihat pemahaman Rûzbihân tentang keempat kata
tersebut – bahwa aspek eksoteris, zâhir, al-Qur’ân adalah apa yang
diketahui oleh para ulama dan aspek esoteris, bâtin, adalah yang
tidak diketahui oleh mereka. Oleh sebab itu orang yang berbicara tentang aspek
esoteris al-Qur’ân adalah orang yang dipercayakan oleh Allâh untuk
mengetahui makna tersebut.[77]
Dalam pandangan Kristin
Zahra Sand semua pemahaman perihal hadis dari Ibn Mas’ûd, maupun dari al-Hasan,
berputar pada dua wilayah, twofold, eksoteris dan esoteris. Ekstoris
sebagai aspek zâhir dan perintah serta larangan yang terdapat dalam limit
atau hadd. Sedangkan aspek esoteris merupakan aspek terdalam
dan pengetahuan titik peninjauan, muttala’, gnostic’s lookout point.[78]
Dalam riwayat lain
disebutkan, “Setiap ayat ada lahir, batin, batas, dan penampilan. Dalam hal ini
Jalaluddin Rahmat mengingatkan bahwa melalui kata-kata dan susunannya, kita
memperoleh makna dan menggunakannya sebagai jalan untuk mengambil hukum yang
lima; inilah aspek lahirnya. Ruh lafz yakni makna yang berada di
atas pengertian yang biasa, karena jauhar dari ruh yang suci adalah aspek
esoterisnya. Adapun batas, boleh jadi terletak di antara lahir dan batin,
terangkat dari lahir menuju batin atau antara batin dan penampilan. Penampilan
adalah tempat pemunculan dari pembicaraan diri kepada pembicara.[79]
Alâ’ al-Dawlâ al-Simnânî mengatakan bahwa dua orientasi ini, twofold, bisa
diperluas menjadi empat penafsiran hierarkis, four-fold hierarchical
interpretative;
Wahai pencari
aspek terdalam dalam al-Qur’ân! Pertama, - yang harus dilakukan – kamu
harus belajar tentang literalitas al-Qur’an dan membawa jasmanimu kedalam
harmonitas perintah dan larangan. Kedua, kamu harus membersihkan jiwa mu
yang terdalam agar kamu mampu memahami aspek terdalam dalam al-Qur’ân, batn,
sesuai dengan perintah Yang Maha Pengasih dan inspirasi dari Nya. Ketiga,
kamu harus merenungkan pengetahuan dari hadd di dalam
kedalaman hati. Denganya – melakukan tiga langkah tersebut – kamu akan
mengetahuaii aspek matla tanpa harus berfikir lagi.[80]
Dengan menitikberatkan
pada aspek personalitas interpretor, Menurut al-Simnânî, sumber keragaman
penafsiran al-Qur’ân didasarkan perbedaan tingkatan dalam al-Qur’ân.
Penafsir
dimensi eksoteris dalam al-Qur’ân seharusnya menyandarkan pada aspek luar dari sense
sebuah ayat. Esoterian harus menyandarkan dirinya pada ilhâm atau
inspirasi untuk – kemudian – mendapatkan aspek esoterisnya, sementara seorang
sufi yang pandai yang benar-benar menyatakan ittihâd seharusnya hanya
berkomentar tentang hadd dengan izin wahyu. Adapun seseorang yang
memperoleh rahasia dari esensi al-Qur’ân tidak pernah berkomentar sama sekali,
tetapi berproses dalam kebimbangan dalam memahami titik pendakian al-Qur’ân.[81]
Pernyataan dari
al-Simnânî ini mengisyaratkan bahwa seseorang tidak akan sampai pada makna bâtin
kecuali terlebih dahulu melampui level literalitas al-Qur’ân. Akan tetapi
sebaliknya orang yang berpegang pada literalitas al-Qur’ân tidak akan menemukan
aspek esoteris al-Qur’ân. Hal
inilah yang menyebabkan al-Ghazâlî melihat tidak ada pertentangan antara
penafsiran esoteris dan penafsiran eksoteris;
Penolakan
makna eksoteris, al-Zawâhir, adalah pendapat kaum Bâtiniyyah,
yang karena memandang sebelah mata, hanya memandang salah satu dari dua dunia
ini dan tidak mengakui persesuaian antara keduanya serta tidak memahami
signifikansinya. Demikian pula, penolakan makna esoteris, al-Asrâr adalah
pendapat kaum Hâsyiwiyyâh. Barang siapa yang hanya mengambil makna
lahiriah, eksoteris, adalah seorang Hasywî, dan siapa yang mengambil
makna esoteris an sich adalah seorang Bâtinî, tetapi siapa saja
yang menggabukangkan keduanya adalah sempurna.
Karena alasan ini, Nabi bersabda, “Al-Qur’ân memiliki makna lahir dan
makna batin, sebuah awal dan akhir.... Tafsir esoteris tidak bertentangan dengan
tafsir eksoteris; namun ia adalah penyempurnaan dan pencapaian makna
terdalamnya, lubâb, dari aspek lahiriahnya. Apa saja yang disajikan di sini
adalah untuk memahami makna bâtin al-Qur’ân, al-Ma’âni al-Bâtinah,
bukan apa yang bertentangan dengan aspek lahir. ... Orang hendaknya tidak
mengabaikan tafsir lahiriah terlebih dahulu, karena tidak ada harapan untuk
mencapai aspek batin al-Qur’an sebelum menguasai aspek lahirnya. Orang yang
mengklaim telah memahami rahasia-rahasia al-Qur’ân, asrâr al-Qur’ân, tanpa
pernah menguasai tafsîr lahiriyyah, adalah seperti orang yang mengklaim
telah mencapai ruang inti sebuah rumah, sadr al-Bayt, tanpa
pernah melewati pintunya, atau yang mengkalim telah memahami maksud orang-orang
Turki dari perkataan mereka tanpa memahami bahasa Turki. Tafsir lahiriah
seperti belajar bahasa dibutuhkan untuk memahami al-Qur’ân.[82]
Al-Ghazâlî seakan ingin
menegaskan bahwa hadis nabi perihal aspek zawâhir dan bawâtin al-Qur’ân
bukanlah sesuatu yang dipertentangkan melainkan untuk dilewati secara
hierarkis. Oleh sebab itu makna dari al-Qur’ân sendiri tidaklah tunggal. Hal
yang sama diutarakan oleh Ibn ‘Arabî. Dalam pembacaan Haidar Bagir, Ibn ‘Arabî
percaya bahwa setiap pemahaman atas firman Allâh, seberapa dalam pun ia, tak
boleh melanggar makna literalnya. Karena, Allâh telah menggunakan bahasa Arab
dengan keakuratan penuh. Semuanya ada suatu makna tertentu.[83]
Al-Râzî bahkan dalam
tafsirnya, secara implisit, menunjukkan kekayaan makna yang terkandung dalam
al-Qur’ân, tepatnya pada sûrah al-Fâtihah. Pada penafsiran ayat kedua al-Fâtihah,
al-Hamdu lillâh, al-Râzî menyatakan, wa hîna idzin yuzharu
anna qaulahu jalla jalâluh – alhamdu lillâh – musytamilun ‘alâ alfi alfi
mas’alatin, aw aktsar aw aqall, “Maka
jelaslan bahwa firman Allâh, alhamdu lillâh, mencakup satu juta mas’alah,
bisa lebih atau pun kurang dari itu.[84]
Isyarat al-Râzî ini
tentunya harus dilihat bukan hanya dari pernyataan dalam hadis yang
mengisyarakatkan tingkatan makna dalam al-Qur’ân tetapi juga historisitas
penafsiran, khususnya penafsiran yang menekankan pada aspek esoteris al-Qur’ân,
mulai dari nabi sampai abad ke-5 sebelum dilahirkannya al-Râzî. Hal ini penting
sebagai sebuah landasan implikatif terhadap pemikiran al-Râzî sendiri dalam
penafsirnya terhadap al-Qur’ân. Akan tetapi tentunya untuk menyamakan persepsi
akan disampaikan terlebih dahulu tentang tafsir terhadap aspek batin al-Qur’ân
secara teoritis, atau disebut dengan al-Tafsîr al-Sûfî.
Namun pada tataran
teoretisnya para sarjana memiliki pandangan yang berbeda perihal definisi dari
upaya pemaknaan atau pencarian makna eksoteris al-Qur’ân. Setidaknya ada tiga
terminologi yang saling berkaitan dan “agak” mirip tetapi esensinya memiliki
kinerja dan implikasi yang berbeda, bâtinî, isyârî, dan sûfî. Rosihan
Anwar sebagaimana dikuatkan oleh Habibi al-Amin menegaskan bahwa tafsîr sûfî
adalah bagian daripada tafsîr isyârî. Adapun tafsîr isyârî, yang
diistilahkan oleh Ahmad Khalil sebagai tafsîr ramzî terbagi, terbagi
menjadi dua yaitu isyârî bâtinî
dan isyârî sûfî. Dari hal ini terungkap mengapa al-Ghazâlî
memberikan garis yang tegas antara kelompok bâtiniyyah dan sûfiyyah
dalam konteks penafsiran yang mana kelompok pertama meloncati makna
eksoteris al-Qur’ân. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh al-Sâbûnî. Abû
al-Farj menambahkan bahwa tafsir bâtinî – memang – hanya
menitikberatkan pada makna-makna simbolis al-Qur’an dan tidak mengakui makna
esoterik.[85]
Adapun tafsîr sûfî, sebagaimana
dijelaskan di awal adalah sebuah upaya untuk memahami makna-makna terdalam
al-Qur’ân dengan senantiasa berpegang pada aspek eksoteris al-Qur’ân. Walaupun
pada realitasnya ada beberapa sufi yang melakukan upaya penafsiran jauh
daripada makna teksnya. Oleh sebab itu menyikapi hal ini istinbât
dijadikan oleh Ahmad Khalîl sebagai titik temu dalam tafsîr sûfî.
Adapun yang dimaksud dengan istinbât dalam konteks ini,
berbeda dengan kajian fiqh, adalah sebuah sistem kerja penakwilan ayat yang
menghasilkan makna baru yang bersifat simbolis dan berbeda secara teks dengan
makna aslinya walaupun mempunyai korelasi siginifikan dengan makna asli teks.[86]
Fakta ini disadari oleh
al-Dzahabî yang kemudian berupaya membagi tafsîr sûfî mejadi dua
bagian, tafsîr sûfî faidî atau isyârî dan tafsîr
sûfî nazârî. Perbedaan kedua tafsir ini terletak pada corak
mufassir sendiri. Yang pertama merupakan padanan dari tasawwuf ‘amalî
dan yang kedua adalah padanan dari tasawwuf falsafî. Dari
keragaman pandangan para sarjana ini penulis mencoba membuat tabel perilah tafsîr
sûfî yang bersumber dari tafsîr isyârî dengan mensintesakan antara
teori Ahmad Khalîl dengan al-Dzahabî;
Sebagai
contoh kami paparkan penafsiran dari Muhy al-Dîn ‘Arabî, menurut al-Dzahabî, dengan Futûhât
al-Makkiyyah serta Fusûs al-Hikâm-nya dikenal
sebagai tokoh dalam corak tafsir ini. Hal ini nampak dalam penafsirannya pada
Maryam [19]: 57, wa rafa‘nâh makân ‘aliyyâ. Ibn ‘Arabî mengatakan, “wa
‘alâ al-Amkinah al-Makân al-Ladzî tadûru ‘alaih rahâ ‘âlam al-Aflâk
wahuwa falak al-Syams, wa fîh maqâm rûhâniyyah Idrîs, wa tahta
sab‘ah aflâk, wa fauqa sab’ah aflâk, wa huwa al-Khâmis ‘asyar.[87]
Dalam surah yang lain al-Rahmân [55]: 19-20; مَرَجَ
الْبَحْرَيْنِ يَلْتَقِيَانِ (19) بَيْنَهُمَا بَرْزَخٌ لَا يَبْغِيَانِ (20) Ibn
‘Arabî menafsirkan bahrain sebagai bahr al-Hayûlî
al-Jasmâniyy dan bahr al-Rûh al-Mujarrad dan yaltaqiyân
dalam wujud manusia.[88]
Dengan kata lain Ibn ‘Arabî melihat dua dimensi yang bertemu dalam diri
manusia, yaitu jasmani dan rohani. Namun al-Dzahabî pun melihat bahwa terkadang
Ibn ‘Arabî masih menggunakan pendekatan nahwiyyah dalam
penafsirannya. Sebagai contoh dalam al-Hajj [21]: 30, ذَلِكَ
وَمَنْ يُعَظِّمْ حُرُمَاتِ اللَّهِ فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ عِنْدَ رَبِّهِ
وَأُحِلَّتْ لَكُمُ الْأَنْعَامُ إِلَّا مَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ فَاجْتَنِبُوا
الرِّجْسَ مِنَ الْأَوْثَانِ وَاجْتَنِبُوا قَوْلَ الزُّورِ ketika menafsirkan kalimat ‘inda
rabbih ia mengatakan bahwa yang mendapatkan posisi ini adalah wa man
yu’azzim.
E. KESIMPULAN
Tafsir
sebagai sebuah aktifitas untuk memahami ayat ayat Allâh tidak akan berhenti. Ia
akan ada selama manusia itu ada. Namun tentunya upaya memahami ini harus
dibingkai dalam koridor-koridor penafsiran yang ditentukan oleh para ulama,
bahkan nabi, sehingga untuk menafsirkannya dibutuhkan kemampuan yang tidak
hanya mengandalkan pemikiran saja tetapi juga hati. Faktanya, fenomena
penafsiran al-Qur’an dilihat dari sumbernya dibagi menjadi tiga macam; bi
al-Ma’tsur, al-Rayy, dan al-Isyarah.
Pembagian
tafsir ini memberikan kita informasi sejarah bahwa para mufassir dalam upaya
mereka menafsirkan al-Qur’an setidaknya berlindung dalam informasi sejarah yang
bersanad, akal, dan juga makna simbolik. Pada kategori yang pertama, kebenaran
tafsir terletak pada kebenaran sumber yang didasarkan pada penafsiran
al-Qur’an, nabi, sahabat, tabi’in, dan informasi histori lainnya, seperti
israiliyyat. Di sisi lain sejarah membuktikan bahwa sejarah memiliki fenomena
yang berbeda sehingga memerlukan upaya penafsiran yang berbeda pula. Terlebih
tidak semua ayat al-Qur’an ditafsirkan oleh nabi, dan memang faktanya para
sahabat dan tabi’in disisi lain melakukan aktivitas penafsiran ini, tafsir bi
al-Ray, dalam konteks bi al-Mahmûd. Rasionalitas adalah dasar dari para
penafsiran ini. Terakhir, al-Isyarah menjadi sumber penafsiran terakhir
yang mengembangkan loncatan penafsiran kepada sesuatu yang berada dalam
jangkauan sebuah teks, go beyond the text, yang terkadang dekat dengan
makna literalnya dan jauh dari makna literalnya.
DAFTAR PUSTAKA
Amin, Ahmad. Fajr
al-Islam. Kairo: Maktabah al-Nahdhah al-Misriyyah, 1975.
Amir Faishol
Fath, The Unity of The Qu’ran terj. Nasiruddin Abas. Jakarta: Pustaka
al-Kautsar, 2010.
Darraz, ‘Abd Allah. al-Naba’ al-‘Azhim. Mesir: Dar al-‘Urubah, 1960.
Al-Dzahabi, Muhammad Husein. al-Tafsir wa al-Mufassirun.
Goldziher, Ignaz Madzab Tafsir tej. Alaika Salamullaha.
dkk.Yogyakarta: Elsaq Press, 2009.
Heer, Nicholas (dkk). Sufisme Persia Klasik, dari Permulaan hingga Rumi
(700-1330) terj. Gafna Raizha Wahyudi. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Sufi,
2002.
Khaldun, Ibnu.
Mukaddimah.
Al-Karim,
Khalil ‘Abd. Hegemoni Quraisy. Yogyakarta: LkiS, 2002.
Al-Khalid,
‘Abd al-Fattah Ta’rif al-Darisin bi Manahij al-Mufassirin. Damaskus: Dar
al-Qalam.
Al-Khulli,
Amin al-Tafsir: Ma’alim Hayatihi wa manhajuh al-Yaum. T.tp.: Dar
Mu’allimin, 1994.
Mattson,
Ingrid. Ulumul Qur’an Zaman Kita: Pemahaman untuk Memahami Konteks, Kisah
dan Sejarah al-Qur’an. Jakarta: Zaman, 2008.
Al-Makkî, Abû Tâlib. Qût al-Qulûb. Kairo: Dâr al-Rasyâd,
1991.
Mustaqim, Abdul. Epistemologi Tafsir Kontemporer. Yogyakarta: LkiS,
2010.
Mustaqim,
Abdul. Madzahibut Tafsir: Peta Metodologi Penafsiran al-Qur’an dari Klasik hingga
Kontemporer. Yogyakarta: Nun Pustaka, 2003.
Al-Nîsâbûrî, Garâib al-Qur’ân wa ragâib al-Furqân. Kairo: Mustafâ
al-Bâbî al-Halabî, 1926.
Putra, Heddy
Shri Ahimsa Strukturalisme Levi Strauss: Mitos dan Karya Sastra. Yogyakarta:
Kepel Press, 2006.
Rahman, Fazlur Islam terj. Ahsin Mohammad. Bandung: Pustaka, 2003.
Rahmat, Jalaluddin Tafsir Sufi al-Fatihah. Bandung: Mizan, 2012 –
Cetakan Baru.
Saeed, Abdullah. Interpretation the Qur’an. Newyork: Routledge,
2005.
Shihab, Quraish. Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan, 2009.
Stowasser,
Barbara Freyer Women in the Qur’an: Traditions and Interpretation. New
York: Oxford University Press, 1994.
Al-Tabarî,
Ibn Jarîr. Jâmi’ al-Bayân fî ta’wîl al-Qur’ân. Mesir: Mustafâ
al-Bâbi al-Halabî, 1954.
Al-Shiddieqy, M. Hasbi. Sejarah dan Pengantar ilmu al-Qur’an. Jakarta,
Bulan Bintang, 1954.
Yasin, Muhammad. Orientalis Menuduh Ulama Menjawab. Jakarta: Pustaka
al-Kautsar, 2010.
Yunus, Mahmud ‘Ilm
Musthalah al-Hadis. Jakarta: al-Maktabah al-Sa’adiyyah Putra.
[1] ‘Abd Allah Darraz, al-Naba’ al-‘Azhim (Mesir:
Dar al-‘Urubah, 1960), hlm. 111. Sebagaimana dikutip oleh Quraish Shihab, Membukan
al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung:
Mizan, 2009), hlm. 107.
[2] M. Hasbi Al-Shiddieqy, Sejarah
dan Pengantar ilmu al-Qur’an (Jakarta, Bulan Bintang, 1954), hlm. 205.
Abdullah Saeed menambahkan bahwa ketika Nabi menafsirkan al-Qur’an, dia
menggunakan dua metode, 1) praktis dan 2) penjelasan, expository. Abdullah
Saeed, Interpretation the Qur’an, hlm. 45.
[3] Muhammad Yasin, Orientalis Menuduh Ulama
Menjawab (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2010), hlm. 108.
[4] Ibn Hajr, Fath
al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1997,
vol 1), hlm. 123. Sebagaimana dikutip oleh Abdullah Saeed, Interpreting
the Qur’an (Newyork: Routledge, 2005), hlm. 44.
[5] Ibnu Wail, “Sungguh Allah telah menurunkan
kebenaran bagi orang yang dikehendaki oleh-Nya. Yakni dia tidak menghendaki
untuk menyibukkan dirinya dengan pembicaraan makna-makna yang ada di balik al-Qur’an. Ubaidah bin Qais
al-Kufi menolak menceritakan satu peristiwa pun tentang asbab al-nuzul, “Takut
kepada Allah dan berbuatlah yang benar. Sesungguhnya orang-orang sebelum kamu
telah menjadi rusak karena mereka mengetahui apa yang diturunkan al-Qur’an”. Sa’id
bin Jubair, “Kalau kamu mau bersanding denganku, itu akan lebih baik bagimu
daripada kamu menanyakan hal itu”. Lihat Ignaz Goldziher, Madzab Tafsir tej.
Alaika Salamullaha (dkk.) (Yogyakarta: Elsaq Press, 2009), hlm. 79
[9] Dari sekian banyak sahabat yang paling populer
adalah Abdullah bin ‘Abbas, dia pun dianggap sebagai peletak ilmu tafsir. Lihat
Mujahid Muhammad al-Shawwaf, “Early Tafsir: A Survey of Qur’anic Contemporary
up to A.H. 150. Hal in sebagaimana dikutip oleh Abdul Mustaqim, Epistemologi
Tafsir Kontemporer (Yogyakarta: LkiS, 2010), hlm. 38.
[10] Muhammad Husein al-Dzahabi, al-Tafsir wa
al-Mufassirun, juz. 1, hlm.
152. Bandingkan juga Abdullah Saeed, Interpretation the Qur’an, hlm. 43.
[11] أن القران كلام الله, فهو
ثابت يقينا لايحتاج إلى تمحيص وتدقيق وتخريج! أما كلام البشر فيحتاج إلى تحقيق
وتخريج وتمحيص, سواء كان كلام صحابة أو تابعين, أو حتى حديث رسول الله.
Lihat Sholih ‘Abd al-Fattah al-Khalid, Ta’rif
al-Darisin bi Manahij al-Mufassirin (Damaskus: Dar al-Qalam), hlm. 200.
[12] Untuk lebih detail coba lihat karya Amir
Faishol Fath, The Unity of The Qu’ran terj. Nasiruddin Abas (Jakarta:
Pustaka al-Kautsar, 2010), hlm. 44.
[16]Heddy Shri Ahimsa Putra, Strukturalisme
Levi Strauss: Mitos dan Karya Sastra (Yogyakarta: Kepel Press, 2006), hlm.
30.
[17]Muslim, Shahih Muslim,
Bab Shudqul Iman wa ikhlashuhu. Sebagaimana dikutip oleh Amir Faishol Fath dalam The
Unity of The Qur’an, hlm. 21.
[18] Ibn Taimiyyah, Muqaddimah
fi Ushul al-Tafsir. Sebagaimana dikutip oleh Abdullah Saeed, Interpreting
the Qur’an, hlm. 43.
[20] Fazlur Rahman, Islam,
hlm. 92.
[21] Amin al-Khulli, al-Tafsir:
Ma’alim Hayatihi wa manhajuh al-Yaum (T.tp.: Dar Mu’allimin, 1994), hlm.
273-274.
[22] Kodifikasi tafsir secara
terpisah dari kitab-kitab hadis baru dimulai pada abad kedua hijriyah, yang
oleh para ahli diduga dimulai sejak era al-Farra (w. 207), dengan kitabnya yang
berjudul Ma’an al-Qur’an. Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir
Kontemporer, hlm. 40.
[23] Ingrid Mattson, Ulumul
Qur’an Zaman Kita: Pemahaman untuk Memahami Konteks, Kisah dan Sejarah
al-Qur’an (Jakarta: Zaman, 2008), hlm. 290.
[26] Tahdzib Tafsir al-Thabari, hlm. 42-43. Lihat juga
Shollah ‘Abd al-Fattah al-Khalidi, Ta’rif al-Darisin, hlm. 202.
[29] Ali al-Khudri, Tafsir al-Tabi’in, hlm.
422-466. Sebagaimana dikutip oleh Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir
Kontemporer, hlm. 42.
[30] Ahmad Amin, Fajr al-Islam (Kairo:
Maktabah al-Nahdhah al-Misriyyah, 1975), hlm. 25. Lihat pula Abdul Mustaqim, Madzahibut Tafsir:
Peta Metodologi Penafsiran al-Qur’an dari Klasik hingga Kontemporer (Yogyakarta:
Nun Pustaka, 2003), hlm. 62-63.
[32] وإذ علمت أن القراءة الشاذة لا تجوز القراءة بها
مطلقا, فاعلم أنه يجوز تعلمها وتعليمها, وتدوينها فى الكتب, وبيان وجهها من حيث
اللغة والإعراب والمعنى, واستنباط الأحكام الشرعية منها. Lihat al-Qiraat al-Syadzdzah wa Taujihuha
li ‘Abd al-Fattah al-Qadi, hlm. 10.
[36] Saat itu kaum yang
memedang kendali terhadap perdangan pada musim haji adalah kaum Quraisy yang
dimulai oleh Qusyain bin Kilab, nenenk moyang nabi Muhammad saw. Untuk melihat
lebih jauh aktivitas perdangan quriasy lihat, Khalil ‘Abd al-Karim, Hegemoni
Quraisy (Yogyakarta: LkiS, 2002).
[39] Al-Dzahabi, al-Tafsir
wa al-Mufassirun (DVD ROOM al-Maktabah al-Syamilah), juz. 4, hlm. 15. Lihat
pula Ibn Khladun, Mukaddimah, hlm. 552.
[42] Barbara Freyer Stowasser, Women in the
Qur’an: Traditions and Interpretation (New York: Oxford University Press,
1994), hlm. 28.
[47] Al-‘Aq, Ushul al-Tafsir wa Qawa’iduh, hlm.
167. Shollah ‘Abd al-Fattah al-Khalidi, Ta’rif al-Darisin, hlm. 207.
[49] Hanya ada satu riwayat
yang berbeda perihal penggunaan ta’wil sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibn
Hibban yang menggunakan istisyhad. Shahih Ibn Hibban, juz. 15. Hlm. 516.
[56] Tarbiyyah Malakah
al-Ijtihad min Khilal Bidayah al-Mujtahid li Ibn Rusyd (DVD ROOM al-Maktabah
al-Syamilah), hlm. 469.
[59] Lihat Nasruddin Baidan, Metodologi
Penafsiran al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002).
[60]
Lihat misalnya, surah al-Baqarah [2]: 81-82, Thāha [20]: 74-76, dan
Ghāfir [40]: 40.
[61] Ayat yang mungkin ditunjukan oleh
Mu’tazilah sendiri mungkin ayat ke-14. Dengan pertimbangan bahwa yang
diafsirkan oleh Mu’tazilah berkaitan dengan perbuatan fasiq, yang itu hanya ada
pada ayat ke 14. Fakhruddin al-Razi, Tafsīr al-Kabīr...,, Juz V, hlm.
99.
[62] Fakhruddin al-Razi, Tafsīr
al-Kabīr..., Juz V, hlm. 99.
[63] Fakhruddin al-Razi, Tafsīr
al-Kabīr..., Juz V, hlm. 99.
[64] Encarta Dictionary in Microsoft
Encarta (DVD). Redmon, WA: Microsoft Corporation. 2008.
[65] “Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik)
hampir-hampir tidak memahami pembicaraan, sedik”itpun”
[66] “Maka apakah mereka tidak memperhatikan
al-Qur’ân?! Kalau sekiranya al-Qur’ân itu bukan dari sisi Allâh, tentulah
mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya”
[71] “Dan tidak ada satu pun melainkan pada sisi
Kami-lah khazanahnya dan kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran atau
kadar tertentu.”
[72] Zalûl bisa berarti dua hal;
pertama bahwa al-Fâz al-Qur’ân sesuai dengan lisan orang-orang
Arab; kedua, al-Qur’ân memiliki makna yang jelas. Kedua dzû wujûhin juga
mengandung dua makna bahwa al-Fâz al-Qur’ân memiliki beragam
aspek makna untuk ditakwilkân; kedua bahwa yang dimaksud dengan wujûh adalah
perintah, larangan, kasih sayang, hukuman, serta larangan. Begitu pun dengan fahmilûh
‘alâ ahsan wujûh mengandung dua makna; membawa kepada makna yang
terbaik. Jalâl al-Dîn al-Suyûtî, al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, (bâb
al-tsâmin wa sab’ûn fî ma‘rifati syuruti. Hadis ini hanya diriwayatkan oleh Dâr Qutnî. Abû
al-Hasan ‘Alî bin ‘Umar al-Bagdâdî Dâr Qutnî, Sunan Dâr Qutnî,
jilid 10. Hlm. 101.
[73] Terjemahan: “al-Qur’an itu memiliki banyak
cabang dan pengetahuan, lahir dan batin; tidak habis keajaibannya, tidak
tercapai tujuannya. Siapa yang masuk ke dalamnya dengan lembut, selamat. Siapa
yang masuk ke dalamnya dengan kasar celaka. Dalam al-Qur’an ada berita dan
perumpaaan, halal dan haram, nâsikh-mansûkh, muhkam-mutasyâbih, lahir
dan batin, lahirnya adalah tilawah dan batinnya adalah ta’wîl. Duduklah dengan
al-Qur’an bersama ulama. Jauhilan dengan al-Qur’an orang-orang yang bodoh”.
Hadis ini tidak penulis temukan dalam al-Kutub al-Sittah maupun al-Kutub
al-Tis’ah. Namun penulis menemukannya dalam kitab ‘ulûm al-Qur’ân dan
juga al-Tafsîr. Seperti dalam kitab al-Durr al-Mantsûr fî Ta’wîl bi
al-Ma’tsûr dan al-Itqân fî ‘ulûm al-Qur’ân karangan al-Suyûtî,
tafsir al-Alûsî, Rûh al-Ma’ânî, al-Dzahabî, al-Tafsîr wa
al-Mufassirûn dan al-Zarqânî, Manâhil al-‘Irfân.
[74] Sebagaimana hadis di awal
hadis ini hanya ada dalam kitab tafsîr dan ‘ulûm al-Qur’ân; al-Itqân
fî ‘ulûm al-Qur’ân karangan al-Suyûtî, tafsir al-Alûsî, Rûh
al-Ma’ânî, al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn dan al-Zarqânî, Manâhil
al-‘Irfân dan juga syarh al-Hadîts, Mirqâh al-Mafâtîh Syarh Misykâhal-Masâbîh
karya al-Mulâ ‘alî al-Qârî. Dalam kitab-kitab hadis, seperti al-Mu’jam
al-Kabîr li al-Tabrânî karya al-Tabrânî, karya al-Suyûtî, Jâmi’
al-Ahâdits, al-Baghawî, Syarh al-Sunnah, “unzila al-Qur’ân ‘alâ
sab’ah ahruf likulli harf minhâ dzahr wa batn wa likull hadd hadd matla’
(Ibn Jarîr, Ibn Hibbâb, al-Tabrâni, Abû Nasr al-Sajzî).
[75] Ibn Jarîr al-Tabarî,
Jâmi’ al-Bayân fî ta’wîl al-Qur’ân (Mesir: Mustafâ al-Bâbi
al-Halabî, 1954), Jilid 1, 32.
[77] Al-Nîsâbûrî, Garâib
al-Qur’ân wa ragâib al-Furqân (Kairo: Mustafâ al-Bâbî al-Halabî,
1926), Jilid 1, hlm. 26.
[80] Al-Simnânî, Tafsîr Najm al-Qur’ân, dikutip oleh J. Elias, The
Throne Carrier of God (NY: SUNY Press, 1995), hlm. 107-108. Sebagaimana
dikutip oleh Kristin Zahra Sand, Commentaries on the Qur’ân, hlm. 12.
[82] Hal ini sebagaimana
dituturkan kembali oleh Nicholas Heer, “Tafsir Esoteris al-Qur’ân Abû Hâmid
al-Ghazâlî ” dalam Nicholas Heer (dkk), Sufisme Persia Klasik, dari
Permulaan hingga Rumi (700-1330) terj. Gafna Raizha Wahyudi (Yogyakarta:
Penerbit Pustaka Sufi, 2002), hlm. 300-302.
[84] Al-Râzî, Mafâtîh
al-Ghaib, jilid. 1, hlm. 14.
[85] Pendefinisian kelompok bâtiniyyah
ini bukan hanya ada dalam diskurus tafsir an sich tetapi juga
menyebar pada bidang kalam, teologi. Bahkan seorang Ibn Taimiyyah yang termasuk pada kelompok ini bukan hanya Syi’ah
Ismâ’iliiyyah saja tetapi juga filosof, mutakallim, dan sufi. Husein
al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz. 2, hlm. 82.
[86] Habibi al-Amin, Emosi
Sufistik dalam Tafsir Isyâri (Ponorogo: PIP-Press, 2016), hlm. 29.
No comments:
Post a Comment